by: Fikri Akbar
Walaupun hujan deras yang mengguyur Kota Pontianak, namun tak menyurutkan para pelaku seni yang menamakan dirinya Forum Masyarakat Teater (Forum) untuk mengadakan penutupan acara Festival Teater terpanjang dan terbesar (30 Januari – 1 Maret) di Kalimantan Barat (1/10).
Acara yang berlangsung di Taman Budaya Pontianak Jl. Ahmad Yani ini, dihadiri oleh 16 sanggar teater dari beberapa Sekolah, Umum dan Perguruan Tinggi yang ada di Kota Pontianak dan Singkawang. Diantaranya; teater Candar dari SMKN 03 Pontianak, teater Tembak SMA Kemala Bhayangkari Kab. Kubu Raya, teater Abu Nawas dari SMAN 1 Sui Raya Kab. Kubu Raya, teater Seni Petuah Enggang dari SMA 08 Pontianak, Komunitas Teater Negeri Empat (Ketupat), Teater Muhammaditah 1 Pontianak (Termos).
Pada kesempatan itu, Antoni S. Runtu, Kepala Taman Budaya Pontianak menyatakan, pihak Taman Budaya memberikan apresiasi serta mensuport bagi para seniman-seniman muda yang telah berinisiatif dan kreatif dalam mengadakan kegiatan seni dan budaya. Hal ini dipandang sebagai salah satu upaya mensukseskan Kalbar Visit Year 2010.
“Kami hanya memfasilitasi teknis kegiatan mereka, selebihnya ini adalah murni hasil dari kerja keras para pelaku seni,” ungkap Antoni menyaluti.
Mugiono selaku ketua umum Format Masyarakat Teater (Format) juga menyatakan, acara ini lebih kepada bentuk apresiasi insan seni yang dituangkan dalam berbagai bentuk, tari, monolog, pantomim dan lakon drama. Disamping itu dirinya menyatakan, ini merupakan bentuk silaturrahmi Forum yang ingin menyatukan teater-teater seni yang berada di Kalimantan Barat.
Hal senada juga diungkapkan oleh Adib salah seorang peserta festival utusan dari Komunitas Teater Negeri Empat (Ketupat) yang mengaku sangat proaktif mengikuti kegiatan ini selama sebulan penuh.
“Ini merupakan ajang penyelur bakat bagi kami-kami yang masih muda, dan kami berharap agar ini terus dapat berkelanjutan, kalau bisa lebih diperluas lagi cakupannya,” ungkap Adib yang melakoni peran seorang Mayor tersebut.
Pada acara festival tersebut juga turut dihadiri dari kalangan Perguruan Tinggi, diantaranya; oleh Komunitas Santri (Komsan) dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Negeri, Komunitas Seni Jalan Lain (KSIL) dari Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) Pontianak dan Teater Semar dari Sekolah Tingggi Ilmu Agama (STIA) Singkawang.
Selain itu acara dimeriahkan pula dengan penampilan dance dari Evolutions Dancer, Chilliders oleh SMA Kemala Bhayangkari, serta peragaan busana yang dipertunjukkan dari Komunitas Waria Pontianak. Selain itu, acara festiaval teater ini diisi dengan beragam tarian-tarian tradisional daerah oleh sanggar Spektrum, pembacaan puisi yang disuguhkan oleh Getska dan Pantomim dari Sailent Konspirasi. Penampilan juga dilakuakan oleh Berikade Teater (Baret) dan Topeng. Acara juga ini didukung oleh penampilan monolog oleh Beben MC.
Jumat, 26 Maret 2010
Aswandi: Tingkatkan Mutu Guru Melalui Pendidikan Karakter
Aswandi: Tingkatkan Mutu Guru Melalui Pendidikan Karakter
by: Fikri Akbar
Seminar Pendidikan dengan Tema Peningkatan Profesionalisme Guru dalam Menghadapi Tantangan Globalisasi yang diadakan oleh Himpunan Pendidikan Kimia (Himdika) Universitas Tanjungpura sebagai bentuk reaktualisasi dari Tridarma, disamping sebagai upaya menyongsong peningkatan pendidikan serta bagaimana menjawab tantangan globalisasi melalui mutu guru. Seminar pendidikan dihadiri oleh para guru SD, SMP, SMA se-Kota Pontianak dan Pesisir Utara.
Aswandi selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNTAN sekaligus sebagai pembicara, menyatakan keprihatinannya dengan kondisi guru yang semakin “melemah” akhir-akhir ini. Menurutnya untuk membangun sebuah pendidikan yang bermutu mestilah dimulai dari seorang guru yang memiliki attitude yang mumpuni. Guru tidak hanya memerlukan kompetensi dalam hal mengajar, namun ia juga mampu menjadi role model (tauladan) bagi anak didiknya.
“Kita sangat menyayangkan sekali dengan beberapa guru yang hanya berambisi mengejar kualifikasi namun kurang memperhatikan kompetensi kepribadiannya, padahal ini sangat urgen bagi proses pendidikan. Karena seorang guru menjadi kredibel karena kepribadiannya bukan ilmunya,” ujar Aswandi.
Dirinya menambahkan, terdapat 4 hal penting yang mesti diperhatikan ketika meraktualisasikan pendidikan karakter, diantaranya; pertama adalah dengan memberikan pemahaman yang benar tentang pendidikan karakter. Alasan mengapa pendidikan karakter sulit diterapkan dalam kerangka pendidikan di negeri ini, karena selama ini tidak adanya kejelasan konseptual tentang pendidikan karakter yang kemudian berakibat pada kebijakan di tingkat lokal yang menyatakan pendidikan karakter dipandang tidak perlu dan tidak tepat sasaran.
Kedua adalah pembiasaan. Menurutnya hal ini sangat memegang peran sangat penting dan mengambil porsi yang cukup besar dalam kehidupan manusia. Kemudian hal ketiga adalah keteladanan, karena menurutnya pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil membekas dalam proses pembentukan karakter, moral, spiritual dan etos sosial anak. Karena menurut Aswandi, jika terdapat beberapa mata pelajaran yang dianggap sulit bagi peserta didik, hal itu bukanlah semata-mata karena kebodohan murid, tapi gurulah yang salah memberikan metode.
“Bukan pelajaran yang sulit, tapi karena perlakuan guru yang kasar!,” ucap Aswandi lantang.
Hal yang terakhir adalah pendidikan dan pembelajaran yang terintegrasi. Karena pendidikan dan pembelajaran berbasis karakter, berbasis nilai, moral dan sejenisnya tidaklah dapat berdiri sendiri sebagai mata pelajaran, ia haruslah dirancang secara terintegrasi dengan pelajaran lain.
Hal yang sama pula diungkapkan oleh Endar, Ketua Panitia seminar yang menyatakan bahwa pembentukan karakter dalam dunia pendidikan sangatlah penting, salah satunya meminimalisir kekerasan yang kerap terjadi pada anak didik.
by: Fikri Akbar
Seminar Pendidikan dengan Tema Peningkatan Profesionalisme Guru dalam Menghadapi Tantangan Globalisasi yang diadakan oleh Himpunan Pendidikan Kimia (Himdika) Universitas Tanjungpura sebagai bentuk reaktualisasi dari Tridarma, disamping sebagai upaya menyongsong peningkatan pendidikan serta bagaimana menjawab tantangan globalisasi melalui mutu guru. Seminar pendidikan dihadiri oleh para guru SD, SMP, SMA se-Kota Pontianak dan Pesisir Utara.
Aswandi selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNTAN sekaligus sebagai pembicara, menyatakan keprihatinannya dengan kondisi guru yang semakin “melemah” akhir-akhir ini. Menurutnya untuk membangun sebuah pendidikan yang bermutu mestilah dimulai dari seorang guru yang memiliki attitude yang mumpuni. Guru tidak hanya memerlukan kompetensi dalam hal mengajar, namun ia juga mampu menjadi role model (tauladan) bagi anak didiknya.
“Kita sangat menyayangkan sekali dengan beberapa guru yang hanya berambisi mengejar kualifikasi namun kurang memperhatikan kompetensi kepribadiannya, padahal ini sangat urgen bagi proses pendidikan. Karena seorang guru menjadi kredibel karena kepribadiannya bukan ilmunya,” ujar Aswandi.
Dirinya menambahkan, terdapat 4 hal penting yang mesti diperhatikan ketika meraktualisasikan pendidikan karakter, diantaranya; pertama adalah dengan memberikan pemahaman yang benar tentang pendidikan karakter. Alasan mengapa pendidikan karakter sulit diterapkan dalam kerangka pendidikan di negeri ini, karena selama ini tidak adanya kejelasan konseptual tentang pendidikan karakter yang kemudian berakibat pada kebijakan di tingkat lokal yang menyatakan pendidikan karakter dipandang tidak perlu dan tidak tepat sasaran.
Kedua adalah pembiasaan. Menurutnya hal ini sangat memegang peran sangat penting dan mengambil porsi yang cukup besar dalam kehidupan manusia. Kemudian hal ketiga adalah keteladanan, karena menurutnya pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil membekas dalam proses pembentukan karakter, moral, spiritual dan etos sosial anak. Karena menurut Aswandi, jika terdapat beberapa mata pelajaran yang dianggap sulit bagi peserta didik, hal itu bukanlah semata-mata karena kebodohan murid, tapi gurulah yang salah memberikan metode.
“Bukan pelajaran yang sulit, tapi karena perlakuan guru yang kasar!,” ucap Aswandi lantang.
Hal yang terakhir adalah pendidikan dan pembelajaran yang terintegrasi. Karena pendidikan dan pembelajaran berbasis karakter, berbasis nilai, moral dan sejenisnya tidaklah dapat berdiri sendiri sebagai mata pelajaran, ia haruslah dirancang secara terintegrasi dengan pelajaran lain.
Hal yang sama pula diungkapkan oleh Endar, Ketua Panitia seminar yang menyatakan bahwa pembentukan karakter dalam dunia pendidikan sangatlah penting, salah satunya meminimalisir kekerasan yang kerap terjadi pada anak didik.
Selasa, 09 Maret 2010
Penutupan MTQ ke-23: Sutarmidji Harapkan Disdik Beri Beasiswa Pemenang
Oleh: Fikri Akbar
Penutupan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) yang diatandai dengan penekanan tombol sirine panjang oleh Walikota pontianak Sutarmidji pada jam 22:26 PM (7/10) merupakan akhir dari seluruh rangkaian kegiatan aktivitas lomba yang telah berlangsung kurang lebih satu minggu (2 – 7 Maret) di Plaza Universitas Tanjungpura Jl. Ahmad Yani Pontianak. Dari hasil keputusan dewan juri lomba, resmi menyatakan Pontianak Barat menempati posisi sebagai juara umum lomba MTQ ke-23 tingkat Kecamatan Pontianak.
Sutarmidji menyatakan penutupan MTQ ke-23 merupakan salah satu langkah awal bagi kita semua dalam rangka berbenah diri, evaluasi, belajar, sekaligus persiapan menuju tingkat prestasi juara pada lomba MTQ tingkat provinsi yang sebentar lagi akan diselenggarakan di Kota Ngabang Kabupaten Landak. Dan dirinya menghimbau kepada Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) Kota pontianak untuk lebih mempersiapkan diri.
Disamping itu dirinya juga menyaluti kerjasama panitia yang baik dengan bersama pihak-pihak terkait dalam mensukseskan acara tersebut. Meskipun Sutarmidji menyadari dana yang dipakai untuk kegiatan MTQ ke-23 ini berasal dari LPTQ, namun Pemkot berjanji akan menambahkan hadiah pemenang 1 kali lipat lagi dengan yang telah diterimanya. Dan khusus bagi pemenang juara lomba MTQ tingkat dewasa, Pemkot memberikan hadiah tambahan berupa kendaraan roda 2.
“Pemkot berjanji akan memberikan bonus bagi para pemenang lomba” tuturnya.
Selain itu dirinya juga mengharapkan kepada Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat untuk memberikan dana bantuan berupa beasiswa bagi seluruh pemenang MTQ ke-23 yang masih duduk dibangku sekolah, SD, SMP dan SMA.
“Pemenang yang masih sekolah, mereka berhak kepada beasiswa yang ada, lagipula hadiah yang diterima oleh para pemenang masih ‘jauh’ bila dibandingkan dengan hadiah bagi pemenang karoeke” pungkasnya.
Sebelumnya, pagelaran seni membaca al-Qur’an ini diikuti oleh 178 peserta putra/i dari 6 kafilah pada 6 Kecamatan Kota untuk 6 jenis perlombaan dengan tingkatan usia yang berbeda.
Pada MTQ ke-23 tingkat Kecamatan ini, Quddus dengan nomor urut 03 utusan dari Kecamatan Pontianak Selatan, dinobatkan sebagai Qori’ terbaik I bagian putra dengan jumlah nilai 80,5 dan Zikra Raihani bernomor urut 12 bagi terbaik I Qori’ah putri dari Kecamatan Pontianak Kota dengan nilai 79.
Munir HD selaku ketua I LPTQ Provinsi menyatakan, perlombaan berjalan dengan sangat baik, kompetitif dan sehat. Namun ini akan menjadi lebih baik jika kita terus meningkatkan kemampuan yang tidak hanya pada kejuaraan MTQ Provinsi mendatang, namun juga Kabupaten Pontianak diharapkan mampu berbicara pada tingkat Nasional di Bengkulu nanti.
Selain itu Munir juga mengingatkan bahwa, dengan selesainya perlombaan yang diikuti dengan pembagian hadiah, bagi para pemenang untuk tidak serta-merta melupakan tujuan awal dari dilaksanakannya MTQ ke-23 ini, yaitu untuk menciptakan generasi-generasi cerdas yang Qur’ani.
“Esensi lanjutan dari perlombaan ini adalah Musabaqah pengamalan al-Qur’an.” Ungkapnya.
Meski demikian, Syarif Mochtar SAA selaku dewan hakim perlombaan mengaku kesulitan dalam menentukan juara pada ajang MTQ ke-23 tingkat Kecamatan ini, karena diakuinya untuk tahun ini para peserta semakin hebat, bersaing ketat dan para pemenang hanya memiliki selisih nilai tipis dari pesaingnya. mengingat sistem penilaian yang ditentukan meliputi 30% untuk bidang tajwid, 30% untuk bidang fashah/adab dan 40% untuk penilaian lagu dan suara.
“Kami dewan hakim awalnya merasa kesulitan untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemenang lomba, semuanya bagus-bagus”. Ungkap Mochtar yang telah mengawali karir dewan hakim sejak 1987 ini.
Selasa, 02 Maret 2010
Pendidikan Merata Untuk Standar Nilai Rata-rata
Oleh: Fikri Akbar
Kebijakan pemerintah melalui Peraturan Mertri (Permen) Pendidikan Nasional 74 tahun 2009. yang memberikan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) Ujian Nasional dengan nilan rata-rata 5,5 dipandang “tidak adil” dari sebagian kalangan. Keputusan ini dirasa sangat terburu-buru karena kesiapan pihak sekolah kepada pihak penyelenggara dalam hal ini adalah pemerintah masih dirasa kurang. Masyarakat berharap agar melakukan perimbangan pratinjau antara standar kelulusan yang telah ditetapkan dengan kualifikasi sekolah yang ada.
Sejatinya Standar Kompetensi Lulusan (SKL) adalah kualifikasi kemampuan
lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Namun seyogyanya pula hal ini tentunya bisa berjalan dengan baik jika didukung oleh beberapa aspek lain, diantaranya; fasilitas praktek, sarana dan prasarana, penyebaran guru yang merata dan memiliki kualifikasi SI.
Untuk mengacu pada SKL tersebut, sangat jarang sekali untuk kita jumpai di daerah-daerah terpencil di Kalbar, yang ada malah sebaliknya. Lain halnya ketika standar itu dilakukan di provinsi dan kotamadya yang akses informasinya lebih banyak dan luas. Hal ini akan menimbulkan disparitas antara kerikulum yang
dipaketkan oleh pusat dengan pembangunan di bidang pendidikan. Jika itu terjadi (lagi) maka tingkat kelulusan UN 2010 yang ditargetkan tidak akan tercapai.
Namun ketika hal ini coba dikonfirmasikan ke pemerintahan, Buang Prasetyo Wibowo selaku Anggota DPRD Komisi D mengakui, hal ini sekilas memang tampak tidak masuk akal dan tidak adil apabila ditinjau segi fasilitas dan mutu guru yang kurang memadai, terutama bagi daerah-daerah terpencil yang serba kekurangan. Namun menurutnya program Peraturan Mentri (Permen) janganlah hanya dipandang dari sebelah mata, karena menurutnya pemerintah mesti memiliki etikat baik sebelum menelurkan kebijakan, apalagi yang berhubungan lansung dengan pendidikan.
Lebih lajut Buang mengatakan, dengan diberlakukannya standar nasional oleh Permen, maka masing-masing daerah akan lebih terpacu untuk membangun pendidikan yang bermutu, karena psikologinya setiap pemerintah daerah tidak mau daerah yang dipimpinnya berkonotasi buruk dan dipandang tertinggal oleh daerah lain. Dengan SKL yang diberlakukan menurutnya, dapat memudahkan tiap-tiap daerah untuk mengembangkan potensi SDM, terutama bagi siswa yang memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan diberlakukannya standar tersebut siswa tidak akan terkendala lagi dengan standar kelulusan yang berbeda-beda di tiap sekolah.
“Pemeritah bercermin dari pengalaman yang telah lalu, dimana siswa yang lulus di sekolah asalnya, namun kemudian terkendala karena standar kelulusan disekolahnya berbeda dengan standar kelulusan yang diberlakukan oleh sekolah atau perguruan tinggi yang akan dimasukinya.” Ungkap Buang menyayangkan beberapa kasus yang sering terjadi belakangan ini.
“Tidak jarang kita jumpai, putra-putri daerah yang memiliki potensi lebih harus ditolak masuk di Universitas Gajah Mada (UGM) misalnya, hanya karena standar rata-rata yang diberikan tidak sama?” Lajut Buang.
Namun Buang menyadari pula dengan tingkat “kebutuhan” bagi tiap-tiap sekolah yang belum merata. Tentu pemerintah masih akan bekerja keras untuk berupaya memaksimalkan peran sekolah di daerah.
Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Bontot Wawan Kusumanto selaku Waka Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kubu Raya bahwa, memang perlu adanya pratinjau secara kontinyu oleh pihak pemerintah. Dengan adanya analisa berdata, pemerintah akan mudah melakukan perbaikan-perbaikan terlebih dahulu baik dibidang infrastruktur (fasilitas) maupun suprastruktur (SDM) terutama sekolah-sekolah yang berada didaerah terpencil sebelum menetapkan Standar Kompetensi Lulusan tersebut.
“Yang kita khawatirkan malah tingkat kelulusan tahun ini menjadi menurun dari tahun-tahun kemarin”, Ujar Bontot.
Kebijakan pemerintah melalui Peraturan Mertri (Permen) Pendidikan Nasional 74 tahun 2009. yang memberikan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) Ujian Nasional dengan nilan rata-rata 5,5 dipandang “tidak adil” dari sebagian kalangan. Keputusan ini dirasa sangat terburu-buru karena kesiapan pihak sekolah kepada pihak penyelenggara dalam hal ini adalah pemerintah masih dirasa kurang. Masyarakat berharap agar melakukan perimbangan pratinjau antara standar kelulusan yang telah ditetapkan dengan kualifikasi sekolah yang ada.
Sejatinya Standar Kompetensi Lulusan (SKL) adalah kualifikasi kemampuan
lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Namun seyogyanya pula hal ini tentunya bisa berjalan dengan baik jika didukung oleh beberapa aspek lain, diantaranya; fasilitas praktek, sarana dan prasarana, penyebaran guru yang merata dan memiliki kualifikasi SI.
Untuk mengacu pada SKL tersebut, sangat jarang sekali untuk kita jumpai di daerah-daerah terpencil di Kalbar, yang ada malah sebaliknya. Lain halnya ketika standar itu dilakukan di provinsi dan kotamadya yang akses informasinya lebih banyak dan luas. Hal ini akan menimbulkan disparitas antara kerikulum yang
dipaketkan oleh pusat dengan pembangunan di bidang pendidikan. Jika itu terjadi (lagi) maka tingkat kelulusan UN 2010 yang ditargetkan tidak akan tercapai.
Namun ketika hal ini coba dikonfirmasikan ke pemerintahan, Buang Prasetyo Wibowo selaku Anggota DPRD Komisi D mengakui, hal ini sekilas memang tampak tidak masuk akal dan tidak adil apabila ditinjau segi fasilitas dan mutu guru yang kurang memadai, terutama bagi daerah-daerah terpencil yang serba kekurangan. Namun menurutnya program Peraturan Mentri (Permen) janganlah hanya dipandang dari sebelah mata, karena menurutnya pemerintah mesti memiliki etikat baik sebelum menelurkan kebijakan, apalagi yang berhubungan lansung dengan pendidikan.
Lebih lajut Buang mengatakan, dengan diberlakukannya standar nasional oleh Permen, maka masing-masing daerah akan lebih terpacu untuk membangun pendidikan yang bermutu, karena psikologinya setiap pemerintah daerah tidak mau daerah yang dipimpinnya berkonotasi buruk dan dipandang tertinggal oleh daerah lain. Dengan SKL yang diberlakukan menurutnya, dapat memudahkan tiap-tiap daerah untuk mengembangkan potensi SDM, terutama bagi siswa yang memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan diberlakukannya standar tersebut siswa tidak akan terkendala lagi dengan standar kelulusan yang berbeda-beda di tiap sekolah.
“Pemeritah bercermin dari pengalaman yang telah lalu, dimana siswa yang lulus di sekolah asalnya, namun kemudian terkendala karena standar kelulusan disekolahnya berbeda dengan standar kelulusan yang diberlakukan oleh sekolah atau perguruan tinggi yang akan dimasukinya.” Ungkap Buang menyayangkan beberapa kasus yang sering terjadi belakangan ini.
“Tidak jarang kita jumpai, putra-putri daerah yang memiliki potensi lebih harus ditolak masuk di Universitas Gajah Mada (UGM) misalnya, hanya karena standar rata-rata yang diberikan tidak sama?” Lajut Buang.
Namun Buang menyadari pula dengan tingkat “kebutuhan” bagi tiap-tiap sekolah yang belum merata. Tentu pemerintah masih akan bekerja keras untuk berupaya memaksimalkan peran sekolah di daerah.
Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Bontot Wawan Kusumanto selaku Waka Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kubu Raya bahwa, memang perlu adanya pratinjau secara kontinyu oleh pihak pemerintah. Dengan adanya analisa berdata, pemerintah akan mudah melakukan perbaikan-perbaikan terlebih dahulu baik dibidang infrastruktur (fasilitas) maupun suprastruktur (SDM) terutama sekolah-sekolah yang berada didaerah terpencil sebelum menetapkan Standar Kompetensi Lulusan tersebut.
“Yang kita khawatirkan malah tingkat kelulusan tahun ini menjadi menurun dari tahun-tahun kemarin”, Ujar Bontot.
Buta Aksara Menunggu Diketok Palu
Oleh: Fikri Akbar
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa penyandang buta aksara usia produktif (15 – 44 tahun) di Kalbar mencapai 300 ribu orang lebih pada tahun 2009. Hal ini berbeda dengan data survei yang dilakukan Dinas Pendidikan Provinsi Kalbar yang berjumlah 121 ribu orang, atau 31,1% dari jumlah penduduk Kalbar yang kurang lebih 4 juta jiwa.
Rencana program pembebasan Kalbar dari buta aksara yang targetkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi yang akan rampung pada 2009 lalu itu, ternyata menyisakan 55,721 orang pada usia produktif di tahun 2010. Padahal, pemerintah melalui instruksi presiden tahun 2006 telah menugaskan setiap pemerintah daerah melaksanakan program percepatan wajib belajar (wajar) sembilan tahun dan pemberantasan buta aksara di wilayah masing-masing.
Ketua Komisi D, Buang Prasetyo Wobowo menyatakan bahwa pemerintah telah mencanangkan kembali melalui APBD untuk menjadikan Kalbar sebagai provinsi yang melek huruf. Untuk itu pemerintah bersama Dinas Pendidikan Provinsi Kalbar sudah mempersiapkan Rencana Strategi (Renstra) penanganan untuk kedepan. Namun Buang menyatakan, hal ini belum dapat terlaksana, karena pemerintah provinsi masih menunggu keputusan pihak pusat yang hingga saat ini belum disahkan.
“Dari pemprov sudah siap dan sudah kita kirim Restranya, hanya tinggal menunggu keputusan dari pusat”. Ungkapnya.
Buang menambahkan, sejak awal 2010 ini pemerintah telah menentukan target-target sasaran kepada “penderita” buta aksara. Hal ini sejalan dengan visi-misi pendidikan pemerintah daerah dalam upaya menaikkan mutu pendidikan di Kalbar.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa penyandang buta aksara usia produktif (15 – 44 tahun) di Kalbar mencapai 300 ribu orang lebih pada tahun 2009. Hal ini berbeda dengan data survei yang dilakukan Dinas Pendidikan Provinsi Kalbar yang berjumlah 121 ribu orang, atau 31,1% dari jumlah penduduk Kalbar yang kurang lebih 4 juta jiwa.
Rencana program pembebasan Kalbar dari buta aksara yang targetkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi yang akan rampung pada 2009 lalu itu, ternyata menyisakan 55,721 orang pada usia produktif di tahun 2010. Padahal, pemerintah melalui instruksi presiden tahun 2006 telah menugaskan setiap pemerintah daerah melaksanakan program percepatan wajib belajar (wajar) sembilan tahun dan pemberantasan buta aksara di wilayah masing-masing.
Ketua Komisi D, Buang Prasetyo Wobowo menyatakan bahwa pemerintah telah mencanangkan kembali melalui APBD untuk menjadikan Kalbar sebagai provinsi yang melek huruf. Untuk itu pemerintah bersama Dinas Pendidikan Provinsi Kalbar sudah mempersiapkan Rencana Strategi (Renstra) penanganan untuk kedepan. Namun Buang menyatakan, hal ini belum dapat terlaksana, karena pemerintah provinsi masih menunggu keputusan pihak pusat yang hingga saat ini belum disahkan.
“Dari pemprov sudah siap dan sudah kita kirim Restranya, hanya tinggal menunggu keputusan dari pusat”. Ungkapnya.
Buang menambahkan, sejak awal 2010 ini pemerintah telah menentukan target-target sasaran kepada “penderita” buta aksara. Hal ini sejalan dengan visi-misi pendidikan pemerintah daerah dalam upaya menaikkan mutu pendidikan di Kalbar.
Langganan:
Postingan (Atom)
Jumat, 26 Maret 2010
Forum: Festival Terpanjang di Kalbar
by: Fikri Akbar
Walaupun hujan deras yang mengguyur Kota Pontianak, namun tak menyurutkan para pelaku seni yang menamakan dirinya Forum Masyarakat Teater (Forum) untuk mengadakan penutupan acara Festival Teater terpanjang dan terbesar (30 Januari – 1 Maret) di Kalimantan Barat (1/10).
Acara yang berlangsung di Taman Budaya Pontianak Jl. Ahmad Yani ini, dihadiri oleh 16 sanggar teater dari beberapa Sekolah, Umum dan Perguruan Tinggi yang ada di Kota Pontianak dan Singkawang. Diantaranya; teater Candar dari SMKN 03 Pontianak, teater Tembak SMA Kemala Bhayangkari Kab. Kubu Raya, teater Abu Nawas dari SMAN 1 Sui Raya Kab. Kubu Raya, teater Seni Petuah Enggang dari SMA 08 Pontianak, Komunitas Teater Negeri Empat (Ketupat), Teater Muhammaditah 1 Pontianak (Termos).
Pada kesempatan itu, Antoni S. Runtu, Kepala Taman Budaya Pontianak menyatakan, pihak Taman Budaya memberikan apresiasi serta mensuport bagi para seniman-seniman muda yang telah berinisiatif dan kreatif dalam mengadakan kegiatan seni dan budaya. Hal ini dipandang sebagai salah satu upaya mensukseskan Kalbar Visit Year 2010.
“Kami hanya memfasilitasi teknis kegiatan mereka, selebihnya ini adalah murni hasil dari kerja keras para pelaku seni,” ungkap Antoni menyaluti.
Mugiono selaku ketua umum Format Masyarakat Teater (Format) juga menyatakan, acara ini lebih kepada bentuk apresiasi insan seni yang dituangkan dalam berbagai bentuk, tari, monolog, pantomim dan lakon drama. Disamping itu dirinya menyatakan, ini merupakan bentuk silaturrahmi Forum yang ingin menyatukan teater-teater seni yang berada di Kalimantan Barat.
Hal senada juga diungkapkan oleh Adib salah seorang peserta festival utusan dari Komunitas Teater Negeri Empat (Ketupat) yang mengaku sangat proaktif mengikuti kegiatan ini selama sebulan penuh.
“Ini merupakan ajang penyelur bakat bagi kami-kami yang masih muda, dan kami berharap agar ini terus dapat berkelanjutan, kalau bisa lebih diperluas lagi cakupannya,” ungkap Adib yang melakoni peran seorang Mayor tersebut.
Pada acara festival tersebut juga turut dihadiri dari kalangan Perguruan Tinggi, diantaranya; oleh Komunitas Santri (Komsan) dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Negeri, Komunitas Seni Jalan Lain (KSIL) dari Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) Pontianak dan Teater Semar dari Sekolah Tingggi Ilmu Agama (STIA) Singkawang.
Selain itu acara dimeriahkan pula dengan penampilan dance dari Evolutions Dancer, Chilliders oleh SMA Kemala Bhayangkari, serta peragaan busana yang dipertunjukkan dari Komunitas Waria Pontianak. Selain itu, acara festiaval teater ini diisi dengan beragam tarian-tarian tradisional daerah oleh sanggar Spektrum, pembacaan puisi yang disuguhkan oleh Getska dan Pantomim dari Sailent Konspirasi. Penampilan juga dilakuakan oleh Berikade Teater (Baret) dan Topeng. Acara juga ini didukung oleh penampilan monolog oleh Beben MC.
Walaupun hujan deras yang mengguyur Kota Pontianak, namun tak menyurutkan para pelaku seni yang menamakan dirinya Forum Masyarakat Teater (Forum) untuk mengadakan penutupan acara Festival Teater terpanjang dan terbesar (30 Januari – 1 Maret) di Kalimantan Barat (1/10).
Acara yang berlangsung di Taman Budaya Pontianak Jl. Ahmad Yani ini, dihadiri oleh 16 sanggar teater dari beberapa Sekolah, Umum dan Perguruan Tinggi yang ada di Kota Pontianak dan Singkawang. Diantaranya; teater Candar dari SMKN 03 Pontianak, teater Tembak SMA Kemala Bhayangkari Kab. Kubu Raya, teater Abu Nawas dari SMAN 1 Sui Raya Kab. Kubu Raya, teater Seni Petuah Enggang dari SMA 08 Pontianak, Komunitas Teater Negeri Empat (Ketupat), Teater Muhammaditah 1 Pontianak (Termos).
Pada kesempatan itu, Antoni S. Runtu, Kepala Taman Budaya Pontianak menyatakan, pihak Taman Budaya memberikan apresiasi serta mensuport bagi para seniman-seniman muda yang telah berinisiatif dan kreatif dalam mengadakan kegiatan seni dan budaya. Hal ini dipandang sebagai salah satu upaya mensukseskan Kalbar Visit Year 2010.
“Kami hanya memfasilitasi teknis kegiatan mereka, selebihnya ini adalah murni hasil dari kerja keras para pelaku seni,” ungkap Antoni menyaluti.
Mugiono selaku ketua umum Format Masyarakat Teater (Format) juga menyatakan, acara ini lebih kepada bentuk apresiasi insan seni yang dituangkan dalam berbagai bentuk, tari, monolog, pantomim dan lakon drama. Disamping itu dirinya menyatakan, ini merupakan bentuk silaturrahmi Forum yang ingin menyatukan teater-teater seni yang berada di Kalimantan Barat.
Hal senada juga diungkapkan oleh Adib salah seorang peserta festival utusan dari Komunitas Teater Negeri Empat (Ketupat) yang mengaku sangat proaktif mengikuti kegiatan ini selama sebulan penuh.
“Ini merupakan ajang penyelur bakat bagi kami-kami yang masih muda, dan kami berharap agar ini terus dapat berkelanjutan, kalau bisa lebih diperluas lagi cakupannya,” ungkap Adib yang melakoni peran seorang Mayor tersebut.
Pada acara festival tersebut juga turut dihadiri dari kalangan Perguruan Tinggi, diantaranya; oleh Komunitas Santri (Komsan) dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Negeri, Komunitas Seni Jalan Lain (KSIL) dari Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) Pontianak dan Teater Semar dari Sekolah Tingggi Ilmu Agama (STIA) Singkawang.
Selain itu acara dimeriahkan pula dengan penampilan dance dari Evolutions Dancer, Chilliders oleh SMA Kemala Bhayangkari, serta peragaan busana yang dipertunjukkan dari Komunitas Waria Pontianak. Selain itu, acara festiaval teater ini diisi dengan beragam tarian-tarian tradisional daerah oleh sanggar Spektrum, pembacaan puisi yang disuguhkan oleh Getska dan Pantomim dari Sailent Konspirasi. Penampilan juga dilakuakan oleh Berikade Teater (Baret) dan Topeng. Acara juga ini didukung oleh penampilan monolog oleh Beben MC.
Aswandi: Tingkatkan Mutu Guru Melalui Pendidikan Karakter
Aswandi: Tingkatkan Mutu Guru Melalui Pendidikan Karakter
by: Fikri Akbar
Seminar Pendidikan dengan Tema Peningkatan Profesionalisme Guru dalam Menghadapi Tantangan Globalisasi yang diadakan oleh Himpunan Pendidikan Kimia (Himdika) Universitas Tanjungpura sebagai bentuk reaktualisasi dari Tridarma, disamping sebagai upaya menyongsong peningkatan pendidikan serta bagaimana menjawab tantangan globalisasi melalui mutu guru. Seminar pendidikan dihadiri oleh para guru SD, SMP, SMA se-Kota Pontianak dan Pesisir Utara.
Aswandi selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNTAN sekaligus sebagai pembicara, menyatakan keprihatinannya dengan kondisi guru yang semakin “melemah” akhir-akhir ini. Menurutnya untuk membangun sebuah pendidikan yang bermutu mestilah dimulai dari seorang guru yang memiliki attitude yang mumpuni. Guru tidak hanya memerlukan kompetensi dalam hal mengajar, namun ia juga mampu menjadi role model (tauladan) bagi anak didiknya.
“Kita sangat menyayangkan sekali dengan beberapa guru yang hanya berambisi mengejar kualifikasi namun kurang memperhatikan kompetensi kepribadiannya, padahal ini sangat urgen bagi proses pendidikan. Karena seorang guru menjadi kredibel karena kepribadiannya bukan ilmunya,” ujar Aswandi.
Dirinya menambahkan, terdapat 4 hal penting yang mesti diperhatikan ketika meraktualisasikan pendidikan karakter, diantaranya; pertama adalah dengan memberikan pemahaman yang benar tentang pendidikan karakter. Alasan mengapa pendidikan karakter sulit diterapkan dalam kerangka pendidikan di negeri ini, karena selama ini tidak adanya kejelasan konseptual tentang pendidikan karakter yang kemudian berakibat pada kebijakan di tingkat lokal yang menyatakan pendidikan karakter dipandang tidak perlu dan tidak tepat sasaran.
Kedua adalah pembiasaan. Menurutnya hal ini sangat memegang peran sangat penting dan mengambil porsi yang cukup besar dalam kehidupan manusia. Kemudian hal ketiga adalah keteladanan, karena menurutnya pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil membekas dalam proses pembentukan karakter, moral, spiritual dan etos sosial anak. Karena menurut Aswandi, jika terdapat beberapa mata pelajaran yang dianggap sulit bagi peserta didik, hal itu bukanlah semata-mata karena kebodohan murid, tapi gurulah yang salah memberikan metode.
“Bukan pelajaran yang sulit, tapi karena perlakuan guru yang kasar!,” ucap Aswandi lantang.
Hal yang terakhir adalah pendidikan dan pembelajaran yang terintegrasi. Karena pendidikan dan pembelajaran berbasis karakter, berbasis nilai, moral dan sejenisnya tidaklah dapat berdiri sendiri sebagai mata pelajaran, ia haruslah dirancang secara terintegrasi dengan pelajaran lain.
Hal yang sama pula diungkapkan oleh Endar, Ketua Panitia seminar yang menyatakan bahwa pembentukan karakter dalam dunia pendidikan sangatlah penting, salah satunya meminimalisir kekerasan yang kerap terjadi pada anak didik.
by: Fikri Akbar
Seminar Pendidikan dengan Tema Peningkatan Profesionalisme Guru dalam Menghadapi Tantangan Globalisasi yang diadakan oleh Himpunan Pendidikan Kimia (Himdika) Universitas Tanjungpura sebagai bentuk reaktualisasi dari Tridarma, disamping sebagai upaya menyongsong peningkatan pendidikan serta bagaimana menjawab tantangan globalisasi melalui mutu guru. Seminar pendidikan dihadiri oleh para guru SD, SMP, SMA se-Kota Pontianak dan Pesisir Utara.
Aswandi selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNTAN sekaligus sebagai pembicara, menyatakan keprihatinannya dengan kondisi guru yang semakin “melemah” akhir-akhir ini. Menurutnya untuk membangun sebuah pendidikan yang bermutu mestilah dimulai dari seorang guru yang memiliki attitude yang mumpuni. Guru tidak hanya memerlukan kompetensi dalam hal mengajar, namun ia juga mampu menjadi role model (tauladan) bagi anak didiknya.
“Kita sangat menyayangkan sekali dengan beberapa guru yang hanya berambisi mengejar kualifikasi namun kurang memperhatikan kompetensi kepribadiannya, padahal ini sangat urgen bagi proses pendidikan. Karena seorang guru menjadi kredibel karena kepribadiannya bukan ilmunya,” ujar Aswandi.
Dirinya menambahkan, terdapat 4 hal penting yang mesti diperhatikan ketika meraktualisasikan pendidikan karakter, diantaranya; pertama adalah dengan memberikan pemahaman yang benar tentang pendidikan karakter. Alasan mengapa pendidikan karakter sulit diterapkan dalam kerangka pendidikan di negeri ini, karena selama ini tidak adanya kejelasan konseptual tentang pendidikan karakter yang kemudian berakibat pada kebijakan di tingkat lokal yang menyatakan pendidikan karakter dipandang tidak perlu dan tidak tepat sasaran.
Kedua adalah pembiasaan. Menurutnya hal ini sangat memegang peran sangat penting dan mengambil porsi yang cukup besar dalam kehidupan manusia. Kemudian hal ketiga adalah keteladanan, karena menurutnya pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil membekas dalam proses pembentukan karakter, moral, spiritual dan etos sosial anak. Karena menurut Aswandi, jika terdapat beberapa mata pelajaran yang dianggap sulit bagi peserta didik, hal itu bukanlah semata-mata karena kebodohan murid, tapi gurulah yang salah memberikan metode.
“Bukan pelajaran yang sulit, tapi karena perlakuan guru yang kasar!,” ucap Aswandi lantang.
Hal yang terakhir adalah pendidikan dan pembelajaran yang terintegrasi. Karena pendidikan dan pembelajaran berbasis karakter, berbasis nilai, moral dan sejenisnya tidaklah dapat berdiri sendiri sebagai mata pelajaran, ia haruslah dirancang secara terintegrasi dengan pelajaran lain.
Hal yang sama pula diungkapkan oleh Endar, Ketua Panitia seminar yang menyatakan bahwa pembentukan karakter dalam dunia pendidikan sangatlah penting, salah satunya meminimalisir kekerasan yang kerap terjadi pada anak didik.
Selasa, 09 Maret 2010
Penutupan MTQ ke-23: Sutarmidji Harapkan Disdik Beri Beasiswa Pemenang
Oleh: Fikri Akbar
Penutupan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) yang diatandai dengan penekanan tombol sirine panjang oleh Walikota pontianak Sutarmidji pada jam 22:26 PM (7/10) merupakan akhir dari seluruh rangkaian kegiatan aktivitas lomba yang telah berlangsung kurang lebih satu minggu (2 – 7 Maret) di Plaza Universitas Tanjungpura Jl. Ahmad Yani Pontianak. Dari hasil keputusan dewan juri lomba, resmi menyatakan Pontianak Barat menempati posisi sebagai juara umum lomba MTQ ke-23 tingkat Kecamatan Pontianak.
Sutarmidji menyatakan penutupan MTQ ke-23 merupakan salah satu langkah awal bagi kita semua dalam rangka berbenah diri, evaluasi, belajar, sekaligus persiapan menuju tingkat prestasi juara pada lomba MTQ tingkat provinsi yang sebentar lagi akan diselenggarakan di Kota Ngabang Kabupaten Landak. Dan dirinya menghimbau kepada Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) Kota pontianak untuk lebih mempersiapkan diri.
Disamping itu dirinya juga menyaluti kerjasama panitia yang baik dengan bersama pihak-pihak terkait dalam mensukseskan acara tersebut. Meskipun Sutarmidji menyadari dana yang dipakai untuk kegiatan MTQ ke-23 ini berasal dari LPTQ, namun Pemkot berjanji akan menambahkan hadiah pemenang 1 kali lipat lagi dengan yang telah diterimanya. Dan khusus bagi pemenang juara lomba MTQ tingkat dewasa, Pemkot memberikan hadiah tambahan berupa kendaraan roda 2.
“Pemkot berjanji akan memberikan bonus bagi para pemenang lomba” tuturnya.
Selain itu dirinya juga mengharapkan kepada Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat untuk memberikan dana bantuan berupa beasiswa bagi seluruh pemenang MTQ ke-23 yang masih duduk dibangku sekolah, SD, SMP dan SMA.
“Pemenang yang masih sekolah, mereka berhak kepada beasiswa yang ada, lagipula hadiah yang diterima oleh para pemenang masih ‘jauh’ bila dibandingkan dengan hadiah bagi pemenang karoeke” pungkasnya.
Sebelumnya, pagelaran seni membaca al-Qur’an ini diikuti oleh 178 peserta putra/i dari 6 kafilah pada 6 Kecamatan Kota untuk 6 jenis perlombaan dengan tingkatan usia yang berbeda.
Pada MTQ ke-23 tingkat Kecamatan ini, Quddus dengan nomor urut 03 utusan dari Kecamatan Pontianak Selatan, dinobatkan sebagai Qori’ terbaik I bagian putra dengan jumlah nilai 80,5 dan Zikra Raihani bernomor urut 12 bagi terbaik I Qori’ah putri dari Kecamatan Pontianak Kota dengan nilai 79.
Munir HD selaku ketua I LPTQ Provinsi menyatakan, perlombaan berjalan dengan sangat baik, kompetitif dan sehat. Namun ini akan menjadi lebih baik jika kita terus meningkatkan kemampuan yang tidak hanya pada kejuaraan MTQ Provinsi mendatang, namun juga Kabupaten Pontianak diharapkan mampu berbicara pada tingkat Nasional di Bengkulu nanti.
Selain itu Munir juga mengingatkan bahwa, dengan selesainya perlombaan yang diikuti dengan pembagian hadiah, bagi para pemenang untuk tidak serta-merta melupakan tujuan awal dari dilaksanakannya MTQ ke-23 ini, yaitu untuk menciptakan generasi-generasi cerdas yang Qur’ani.
“Esensi lanjutan dari perlombaan ini adalah Musabaqah pengamalan al-Qur’an.” Ungkapnya.
Meski demikian, Syarif Mochtar SAA selaku dewan hakim perlombaan mengaku kesulitan dalam menentukan juara pada ajang MTQ ke-23 tingkat Kecamatan ini, karena diakuinya untuk tahun ini para peserta semakin hebat, bersaing ketat dan para pemenang hanya memiliki selisih nilai tipis dari pesaingnya. mengingat sistem penilaian yang ditentukan meliputi 30% untuk bidang tajwid, 30% untuk bidang fashah/adab dan 40% untuk penilaian lagu dan suara.
“Kami dewan hakim awalnya merasa kesulitan untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemenang lomba, semuanya bagus-bagus”. Ungkap Mochtar yang telah mengawali karir dewan hakim sejak 1987 ini.
Selasa, 02 Maret 2010
Pendidikan Merata Untuk Standar Nilai Rata-rata
Oleh: Fikri Akbar
Kebijakan pemerintah melalui Peraturan Mertri (Permen) Pendidikan Nasional 74 tahun 2009. yang memberikan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) Ujian Nasional dengan nilan rata-rata 5,5 dipandang “tidak adil” dari sebagian kalangan. Keputusan ini dirasa sangat terburu-buru karena kesiapan pihak sekolah kepada pihak penyelenggara dalam hal ini adalah pemerintah masih dirasa kurang. Masyarakat berharap agar melakukan perimbangan pratinjau antara standar kelulusan yang telah ditetapkan dengan kualifikasi sekolah yang ada.
Sejatinya Standar Kompetensi Lulusan (SKL) adalah kualifikasi kemampuan
lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Namun seyogyanya pula hal ini tentunya bisa berjalan dengan baik jika didukung oleh beberapa aspek lain, diantaranya; fasilitas praktek, sarana dan prasarana, penyebaran guru yang merata dan memiliki kualifikasi SI.
Untuk mengacu pada SKL tersebut, sangat jarang sekali untuk kita jumpai di daerah-daerah terpencil di Kalbar, yang ada malah sebaliknya. Lain halnya ketika standar itu dilakukan di provinsi dan kotamadya yang akses informasinya lebih banyak dan luas. Hal ini akan menimbulkan disparitas antara kerikulum yang
dipaketkan oleh pusat dengan pembangunan di bidang pendidikan. Jika itu terjadi (lagi) maka tingkat kelulusan UN 2010 yang ditargetkan tidak akan tercapai.
Namun ketika hal ini coba dikonfirmasikan ke pemerintahan, Buang Prasetyo Wibowo selaku Anggota DPRD Komisi D mengakui, hal ini sekilas memang tampak tidak masuk akal dan tidak adil apabila ditinjau segi fasilitas dan mutu guru yang kurang memadai, terutama bagi daerah-daerah terpencil yang serba kekurangan. Namun menurutnya program Peraturan Mentri (Permen) janganlah hanya dipandang dari sebelah mata, karena menurutnya pemerintah mesti memiliki etikat baik sebelum menelurkan kebijakan, apalagi yang berhubungan lansung dengan pendidikan.
Lebih lajut Buang mengatakan, dengan diberlakukannya standar nasional oleh Permen, maka masing-masing daerah akan lebih terpacu untuk membangun pendidikan yang bermutu, karena psikologinya setiap pemerintah daerah tidak mau daerah yang dipimpinnya berkonotasi buruk dan dipandang tertinggal oleh daerah lain. Dengan SKL yang diberlakukan menurutnya, dapat memudahkan tiap-tiap daerah untuk mengembangkan potensi SDM, terutama bagi siswa yang memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan diberlakukannya standar tersebut siswa tidak akan terkendala lagi dengan standar kelulusan yang berbeda-beda di tiap sekolah.
“Pemeritah bercermin dari pengalaman yang telah lalu, dimana siswa yang lulus di sekolah asalnya, namun kemudian terkendala karena standar kelulusan disekolahnya berbeda dengan standar kelulusan yang diberlakukan oleh sekolah atau perguruan tinggi yang akan dimasukinya.” Ungkap Buang menyayangkan beberapa kasus yang sering terjadi belakangan ini.
“Tidak jarang kita jumpai, putra-putri daerah yang memiliki potensi lebih harus ditolak masuk di Universitas Gajah Mada (UGM) misalnya, hanya karena standar rata-rata yang diberikan tidak sama?” Lajut Buang.
Namun Buang menyadari pula dengan tingkat “kebutuhan” bagi tiap-tiap sekolah yang belum merata. Tentu pemerintah masih akan bekerja keras untuk berupaya memaksimalkan peran sekolah di daerah.
Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Bontot Wawan Kusumanto selaku Waka Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kubu Raya bahwa, memang perlu adanya pratinjau secara kontinyu oleh pihak pemerintah. Dengan adanya analisa berdata, pemerintah akan mudah melakukan perbaikan-perbaikan terlebih dahulu baik dibidang infrastruktur (fasilitas) maupun suprastruktur (SDM) terutama sekolah-sekolah yang berada didaerah terpencil sebelum menetapkan Standar Kompetensi Lulusan tersebut.
“Yang kita khawatirkan malah tingkat kelulusan tahun ini menjadi menurun dari tahun-tahun kemarin”, Ujar Bontot.
Kebijakan pemerintah melalui Peraturan Mertri (Permen) Pendidikan Nasional 74 tahun 2009. yang memberikan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) Ujian Nasional dengan nilan rata-rata 5,5 dipandang “tidak adil” dari sebagian kalangan. Keputusan ini dirasa sangat terburu-buru karena kesiapan pihak sekolah kepada pihak penyelenggara dalam hal ini adalah pemerintah masih dirasa kurang. Masyarakat berharap agar melakukan perimbangan pratinjau antara standar kelulusan yang telah ditetapkan dengan kualifikasi sekolah yang ada.
Sejatinya Standar Kompetensi Lulusan (SKL) adalah kualifikasi kemampuan
lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Namun seyogyanya pula hal ini tentunya bisa berjalan dengan baik jika didukung oleh beberapa aspek lain, diantaranya; fasilitas praktek, sarana dan prasarana, penyebaran guru yang merata dan memiliki kualifikasi SI.
Untuk mengacu pada SKL tersebut, sangat jarang sekali untuk kita jumpai di daerah-daerah terpencil di Kalbar, yang ada malah sebaliknya. Lain halnya ketika standar itu dilakukan di provinsi dan kotamadya yang akses informasinya lebih banyak dan luas. Hal ini akan menimbulkan disparitas antara kerikulum yang
dipaketkan oleh pusat dengan pembangunan di bidang pendidikan. Jika itu terjadi (lagi) maka tingkat kelulusan UN 2010 yang ditargetkan tidak akan tercapai.
Namun ketika hal ini coba dikonfirmasikan ke pemerintahan, Buang Prasetyo Wibowo selaku Anggota DPRD Komisi D mengakui, hal ini sekilas memang tampak tidak masuk akal dan tidak adil apabila ditinjau segi fasilitas dan mutu guru yang kurang memadai, terutama bagi daerah-daerah terpencil yang serba kekurangan. Namun menurutnya program Peraturan Mentri (Permen) janganlah hanya dipandang dari sebelah mata, karena menurutnya pemerintah mesti memiliki etikat baik sebelum menelurkan kebijakan, apalagi yang berhubungan lansung dengan pendidikan.
Lebih lajut Buang mengatakan, dengan diberlakukannya standar nasional oleh Permen, maka masing-masing daerah akan lebih terpacu untuk membangun pendidikan yang bermutu, karena psikologinya setiap pemerintah daerah tidak mau daerah yang dipimpinnya berkonotasi buruk dan dipandang tertinggal oleh daerah lain. Dengan SKL yang diberlakukan menurutnya, dapat memudahkan tiap-tiap daerah untuk mengembangkan potensi SDM, terutama bagi siswa yang memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan diberlakukannya standar tersebut siswa tidak akan terkendala lagi dengan standar kelulusan yang berbeda-beda di tiap sekolah.
“Pemeritah bercermin dari pengalaman yang telah lalu, dimana siswa yang lulus di sekolah asalnya, namun kemudian terkendala karena standar kelulusan disekolahnya berbeda dengan standar kelulusan yang diberlakukan oleh sekolah atau perguruan tinggi yang akan dimasukinya.” Ungkap Buang menyayangkan beberapa kasus yang sering terjadi belakangan ini.
“Tidak jarang kita jumpai, putra-putri daerah yang memiliki potensi lebih harus ditolak masuk di Universitas Gajah Mada (UGM) misalnya, hanya karena standar rata-rata yang diberikan tidak sama?” Lajut Buang.
Namun Buang menyadari pula dengan tingkat “kebutuhan” bagi tiap-tiap sekolah yang belum merata. Tentu pemerintah masih akan bekerja keras untuk berupaya memaksimalkan peran sekolah di daerah.
Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Bontot Wawan Kusumanto selaku Waka Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kubu Raya bahwa, memang perlu adanya pratinjau secara kontinyu oleh pihak pemerintah. Dengan adanya analisa berdata, pemerintah akan mudah melakukan perbaikan-perbaikan terlebih dahulu baik dibidang infrastruktur (fasilitas) maupun suprastruktur (SDM) terutama sekolah-sekolah yang berada didaerah terpencil sebelum menetapkan Standar Kompetensi Lulusan tersebut.
“Yang kita khawatirkan malah tingkat kelulusan tahun ini menjadi menurun dari tahun-tahun kemarin”, Ujar Bontot.
Buta Aksara Menunggu Diketok Palu
Oleh: Fikri Akbar
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa penyandang buta aksara usia produktif (15 – 44 tahun) di Kalbar mencapai 300 ribu orang lebih pada tahun 2009. Hal ini berbeda dengan data survei yang dilakukan Dinas Pendidikan Provinsi Kalbar yang berjumlah 121 ribu orang, atau 31,1% dari jumlah penduduk Kalbar yang kurang lebih 4 juta jiwa.
Rencana program pembebasan Kalbar dari buta aksara yang targetkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi yang akan rampung pada 2009 lalu itu, ternyata menyisakan 55,721 orang pada usia produktif di tahun 2010. Padahal, pemerintah melalui instruksi presiden tahun 2006 telah menugaskan setiap pemerintah daerah melaksanakan program percepatan wajib belajar (wajar) sembilan tahun dan pemberantasan buta aksara di wilayah masing-masing.
Ketua Komisi D, Buang Prasetyo Wobowo menyatakan bahwa pemerintah telah mencanangkan kembali melalui APBD untuk menjadikan Kalbar sebagai provinsi yang melek huruf. Untuk itu pemerintah bersama Dinas Pendidikan Provinsi Kalbar sudah mempersiapkan Rencana Strategi (Renstra) penanganan untuk kedepan. Namun Buang menyatakan, hal ini belum dapat terlaksana, karena pemerintah provinsi masih menunggu keputusan pihak pusat yang hingga saat ini belum disahkan.
“Dari pemprov sudah siap dan sudah kita kirim Restranya, hanya tinggal menunggu keputusan dari pusat”. Ungkapnya.
Buang menambahkan, sejak awal 2010 ini pemerintah telah menentukan target-target sasaran kepada “penderita” buta aksara. Hal ini sejalan dengan visi-misi pendidikan pemerintah daerah dalam upaya menaikkan mutu pendidikan di Kalbar.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa penyandang buta aksara usia produktif (15 – 44 tahun) di Kalbar mencapai 300 ribu orang lebih pada tahun 2009. Hal ini berbeda dengan data survei yang dilakukan Dinas Pendidikan Provinsi Kalbar yang berjumlah 121 ribu orang, atau 31,1% dari jumlah penduduk Kalbar yang kurang lebih 4 juta jiwa.
Rencana program pembebasan Kalbar dari buta aksara yang targetkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi yang akan rampung pada 2009 lalu itu, ternyata menyisakan 55,721 orang pada usia produktif di tahun 2010. Padahal, pemerintah melalui instruksi presiden tahun 2006 telah menugaskan setiap pemerintah daerah melaksanakan program percepatan wajib belajar (wajar) sembilan tahun dan pemberantasan buta aksara di wilayah masing-masing.
Ketua Komisi D, Buang Prasetyo Wobowo menyatakan bahwa pemerintah telah mencanangkan kembali melalui APBD untuk menjadikan Kalbar sebagai provinsi yang melek huruf. Untuk itu pemerintah bersama Dinas Pendidikan Provinsi Kalbar sudah mempersiapkan Rencana Strategi (Renstra) penanganan untuk kedepan. Namun Buang menyatakan, hal ini belum dapat terlaksana, karena pemerintah provinsi masih menunggu keputusan pihak pusat yang hingga saat ini belum disahkan.
“Dari pemprov sudah siap dan sudah kita kirim Restranya, hanya tinggal menunggu keputusan dari pusat”. Ungkapnya.
Buang menambahkan, sejak awal 2010 ini pemerintah telah menentukan target-target sasaran kepada “penderita” buta aksara. Hal ini sejalan dengan visi-misi pendidikan pemerintah daerah dalam upaya menaikkan mutu pendidikan di Kalbar.
Langganan:
Postingan (Atom)