Oleh: Fikri Akbar
Kebijakan pemerintah melalui Peraturan Mertri (Permen) Pendidikan Nasional 74 tahun 2009. yang memberikan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) Ujian Nasional dengan nilan rata-rata 5,5 dipandang “tidak adil” dari sebagian kalangan. Keputusan ini dirasa sangat terburu-buru karena kesiapan pihak sekolah kepada pihak penyelenggara dalam hal ini adalah pemerintah masih dirasa kurang. Masyarakat berharap agar melakukan perimbangan pratinjau antara standar kelulusan yang telah ditetapkan dengan kualifikasi sekolah yang ada.
Sejatinya Standar Kompetensi Lulusan (SKL) adalah kualifikasi kemampuan
lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Namun seyogyanya pula hal ini tentunya bisa berjalan dengan baik jika didukung oleh beberapa aspek lain, diantaranya; fasilitas praktek, sarana dan prasarana, penyebaran guru yang merata dan memiliki kualifikasi SI.
Untuk mengacu pada SKL tersebut, sangat jarang sekali untuk kita jumpai di daerah-daerah terpencil di Kalbar, yang ada malah sebaliknya. Lain halnya ketika standar itu dilakukan di provinsi dan kotamadya yang akses informasinya lebih banyak dan luas. Hal ini akan menimbulkan disparitas antara kerikulum yang
dipaketkan oleh pusat dengan pembangunan di bidang pendidikan. Jika itu terjadi (lagi) maka tingkat kelulusan UN 2010 yang ditargetkan tidak akan tercapai.
Namun ketika hal ini coba dikonfirmasikan ke pemerintahan, Buang Prasetyo Wibowo selaku Anggota DPRD Komisi D mengakui, hal ini sekilas memang tampak tidak masuk akal dan tidak adil apabila ditinjau segi fasilitas dan mutu guru yang kurang memadai, terutama bagi daerah-daerah terpencil yang serba kekurangan. Namun menurutnya program Peraturan Mentri (Permen) janganlah hanya dipandang dari sebelah mata, karena menurutnya pemerintah mesti memiliki etikat baik sebelum menelurkan kebijakan, apalagi yang berhubungan lansung dengan pendidikan.
Lebih lajut Buang mengatakan, dengan diberlakukannya standar nasional oleh Permen, maka masing-masing daerah akan lebih terpacu untuk membangun pendidikan yang bermutu, karena psikologinya setiap pemerintah daerah tidak mau daerah yang dipimpinnya berkonotasi buruk dan dipandang tertinggal oleh daerah lain. Dengan SKL yang diberlakukan menurutnya, dapat memudahkan tiap-tiap daerah untuk mengembangkan potensi SDM, terutama bagi siswa yang memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan diberlakukannya standar tersebut siswa tidak akan terkendala lagi dengan standar kelulusan yang berbeda-beda di tiap sekolah.
“Pemeritah bercermin dari pengalaman yang telah lalu, dimana siswa yang lulus di sekolah asalnya, namun kemudian terkendala karena standar kelulusan disekolahnya berbeda dengan standar kelulusan yang diberlakukan oleh sekolah atau perguruan tinggi yang akan dimasukinya.” Ungkap Buang menyayangkan beberapa kasus yang sering terjadi belakangan ini.
“Tidak jarang kita jumpai, putra-putri daerah yang memiliki potensi lebih harus ditolak masuk di Universitas Gajah Mada (UGM) misalnya, hanya karena standar rata-rata yang diberikan tidak sama?” Lajut Buang.
Namun Buang menyadari pula dengan tingkat “kebutuhan” bagi tiap-tiap sekolah yang belum merata. Tentu pemerintah masih akan bekerja keras untuk berupaya memaksimalkan peran sekolah di daerah.
Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Bontot Wawan Kusumanto selaku Waka Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kubu Raya bahwa, memang perlu adanya pratinjau secara kontinyu oleh pihak pemerintah. Dengan adanya analisa berdata, pemerintah akan mudah melakukan perbaikan-perbaikan terlebih dahulu baik dibidang infrastruktur (fasilitas) maupun suprastruktur (SDM) terutama sekolah-sekolah yang berada didaerah terpencil sebelum menetapkan Standar Kompetensi Lulusan tersebut.
“Yang kita khawatirkan malah tingkat kelulusan tahun ini menjadi menurun dari tahun-tahun kemarin”, Ujar Bontot.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Selasa, 02 Maret 2010
Pendidikan Merata Untuk Standar Nilai Rata-rata
Oleh: Fikri Akbar
Kebijakan pemerintah melalui Peraturan Mertri (Permen) Pendidikan Nasional 74 tahun 2009. yang memberikan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) Ujian Nasional dengan nilan rata-rata 5,5 dipandang “tidak adil” dari sebagian kalangan. Keputusan ini dirasa sangat terburu-buru karena kesiapan pihak sekolah kepada pihak penyelenggara dalam hal ini adalah pemerintah masih dirasa kurang. Masyarakat berharap agar melakukan perimbangan pratinjau antara standar kelulusan yang telah ditetapkan dengan kualifikasi sekolah yang ada.
Sejatinya Standar Kompetensi Lulusan (SKL) adalah kualifikasi kemampuan
lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Namun seyogyanya pula hal ini tentunya bisa berjalan dengan baik jika didukung oleh beberapa aspek lain, diantaranya; fasilitas praktek, sarana dan prasarana, penyebaran guru yang merata dan memiliki kualifikasi SI.
Untuk mengacu pada SKL tersebut, sangat jarang sekali untuk kita jumpai di daerah-daerah terpencil di Kalbar, yang ada malah sebaliknya. Lain halnya ketika standar itu dilakukan di provinsi dan kotamadya yang akses informasinya lebih banyak dan luas. Hal ini akan menimbulkan disparitas antara kerikulum yang
dipaketkan oleh pusat dengan pembangunan di bidang pendidikan. Jika itu terjadi (lagi) maka tingkat kelulusan UN 2010 yang ditargetkan tidak akan tercapai.
Namun ketika hal ini coba dikonfirmasikan ke pemerintahan, Buang Prasetyo Wibowo selaku Anggota DPRD Komisi D mengakui, hal ini sekilas memang tampak tidak masuk akal dan tidak adil apabila ditinjau segi fasilitas dan mutu guru yang kurang memadai, terutama bagi daerah-daerah terpencil yang serba kekurangan. Namun menurutnya program Peraturan Mentri (Permen) janganlah hanya dipandang dari sebelah mata, karena menurutnya pemerintah mesti memiliki etikat baik sebelum menelurkan kebijakan, apalagi yang berhubungan lansung dengan pendidikan.
Lebih lajut Buang mengatakan, dengan diberlakukannya standar nasional oleh Permen, maka masing-masing daerah akan lebih terpacu untuk membangun pendidikan yang bermutu, karena psikologinya setiap pemerintah daerah tidak mau daerah yang dipimpinnya berkonotasi buruk dan dipandang tertinggal oleh daerah lain. Dengan SKL yang diberlakukan menurutnya, dapat memudahkan tiap-tiap daerah untuk mengembangkan potensi SDM, terutama bagi siswa yang memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan diberlakukannya standar tersebut siswa tidak akan terkendala lagi dengan standar kelulusan yang berbeda-beda di tiap sekolah.
“Pemeritah bercermin dari pengalaman yang telah lalu, dimana siswa yang lulus di sekolah asalnya, namun kemudian terkendala karena standar kelulusan disekolahnya berbeda dengan standar kelulusan yang diberlakukan oleh sekolah atau perguruan tinggi yang akan dimasukinya.” Ungkap Buang menyayangkan beberapa kasus yang sering terjadi belakangan ini.
“Tidak jarang kita jumpai, putra-putri daerah yang memiliki potensi lebih harus ditolak masuk di Universitas Gajah Mada (UGM) misalnya, hanya karena standar rata-rata yang diberikan tidak sama?” Lajut Buang.
Namun Buang menyadari pula dengan tingkat “kebutuhan” bagi tiap-tiap sekolah yang belum merata. Tentu pemerintah masih akan bekerja keras untuk berupaya memaksimalkan peran sekolah di daerah.
Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Bontot Wawan Kusumanto selaku Waka Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kubu Raya bahwa, memang perlu adanya pratinjau secara kontinyu oleh pihak pemerintah. Dengan adanya analisa berdata, pemerintah akan mudah melakukan perbaikan-perbaikan terlebih dahulu baik dibidang infrastruktur (fasilitas) maupun suprastruktur (SDM) terutama sekolah-sekolah yang berada didaerah terpencil sebelum menetapkan Standar Kompetensi Lulusan tersebut.
“Yang kita khawatirkan malah tingkat kelulusan tahun ini menjadi menurun dari tahun-tahun kemarin”, Ujar Bontot.
Kebijakan pemerintah melalui Peraturan Mertri (Permen) Pendidikan Nasional 74 tahun 2009. yang memberikan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) Ujian Nasional dengan nilan rata-rata 5,5 dipandang “tidak adil” dari sebagian kalangan. Keputusan ini dirasa sangat terburu-buru karena kesiapan pihak sekolah kepada pihak penyelenggara dalam hal ini adalah pemerintah masih dirasa kurang. Masyarakat berharap agar melakukan perimbangan pratinjau antara standar kelulusan yang telah ditetapkan dengan kualifikasi sekolah yang ada.
Sejatinya Standar Kompetensi Lulusan (SKL) adalah kualifikasi kemampuan
lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Namun seyogyanya pula hal ini tentunya bisa berjalan dengan baik jika didukung oleh beberapa aspek lain, diantaranya; fasilitas praktek, sarana dan prasarana, penyebaran guru yang merata dan memiliki kualifikasi SI.
Untuk mengacu pada SKL tersebut, sangat jarang sekali untuk kita jumpai di daerah-daerah terpencil di Kalbar, yang ada malah sebaliknya. Lain halnya ketika standar itu dilakukan di provinsi dan kotamadya yang akses informasinya lebih banyak dan luas. Hal ini akan menimbulkan disparitas antara kerikulum yang
dipaketkan oleh pusat dengan pembangunan di bidang pendidikan. Jika itu terjadi (lagi) maka tingkat kelulusan UN 2010 yang ditargetkan tidak akan tercapai.
Namun ketika hal ini coba dikonfirmasikan ke pemerintahan, Buang Prasetyo Wibowo selaku Anggota DPRD Komisi D mengakui, hal ini sekilas memang tampak tidak masuk akal dan tidak adil apabila ditinjau segi fasilitas dan mutu guru yang kurang memadai, terutama bagi daerah-daerah terpencil yang serba kekurangan. Namun menurutnya program Peraturan Mentri (Permen) janganlah hanya dipandang dari sebelah mata, karena menurutnya pemerintah mesti memiliki etikat baik sebelum menelurkan kebijakan, apalagi yang berhubungan lansung dengan pendidikan.
Lebih lajut Buang mengatakan, dengan diberlakukannya standar nasional oleh Permen, maka masing-masing daerah akan lebih terpacu untuk membangun pendidikan yang bermutu, karena psikologinya setiap pemerintah daerah tidak mau daerah yang dipimpinnya berkonotasi buruk dan dipandang tertinggal oleh daerah lain. Dengan SKL yang diberlakukan menurutnya, dapat memudahkan tiap-tiap daerah untuk mengembangkan potensi SDM, terutama bagi siswa yang memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan diberlakukannya standar tersebut siswa tidak akan terkendala lagi dengan standar kelulusan yang berbeda-beda di tiap sekolah.
“Pemeritah bercermin dari pengalaman yang telah lalu, dimana siswa yang lulus di sekolah asalnya, namun kemudian terkendala karena standar kelulusan disekolahnya berbeda dengan standar kelulusan yang diberlakukan oleh sekolah atau perguruan tinggi yang akan dimasukinya.” Ungkap Buang menyayangkan beberapa kasus yang sering terjadi belakangan ini.
“Tidak jarang kita jumpai, putra-putri daerah yang memiliki potensi lebih harus ditolak masuk di Universitas Gajah Mada (UGM) misalnya, hanya karena standar rata-rata yang diberikan tidak sama?” Lajut Buang.
Namun Buang menyadari pula dengan tingkat “kebutuhan” bagi tiap-tiap sekolah yang belum merata. Tentu pemerintah masih akan bekerja keras untuk berupaya memaksimalkan peran sekolah di daerah.
Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Bontot Wawan Kusumanto selaku Waka Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kubu Raya bahwa, memang perlu adanya pratinjau secara kontinyu oleh pihak pemerintah. Dengan adanya analisa berdata, pemerintah akan mudah melakukan perbaikan-perbaikan terlebih dahulu baik dibidang infrastruktur (fasilitas) maupun suprastruktur (SDM) terutama sekolah-sekolah yang berada didaerah terpencil sebelum menetapkan Standar Kompetensi Lulusan tersebut.
“Yang kita khawatirkan malah tingkat kelulusan tahun ini menjadi menurun dari tahun-tahun kemarin”, Ujar Bontot.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar