Minggu, 11 April 2010

Sistem Pendidikan Kapitalis UU BHP Paradigma tidak manusiawi

By: Fikri Akbar

Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Nasional yang telah dicabut oleh putusan Mahkamah Konstitusi Rabu (31/3) lalu dianggap sebagai sebuah kabar gembira bagi dunia pendidikan Kalbar, karena UU BHP dipandang sebagai sistem pendidikan yang sangat kapitalis oleh Abriyandi selaku Ketua Umum Perhimpunan Guru untuk Revormasi Pendidikan (Pergerakan Kalimantan Barat). Tanggapan pencabutan UU BHP tersebut disampaikannya ketika diwawancarai di program Malay Corner Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak beberapa waktu lalu.

“Paradigma berpikir seperti ini menurut saya sangat kapitalis” tegas Abriyandi.
Yang menjadi masalah lanjutnya adalah konsep reassintance government (bantuan pemerintah) mengenai pendidikan yang telah masuk ke ranah pendidikan kapitalis. Karena menurutnya negara seolah ingin mencoba melepas diri secara pelan-pelan. Sedangkan bantuan yang diperuntukkan pusat memiliki digit maksimal.
“Apalagi rencana ini kan (UU BHP) akan terus berlanjut sampai ke tingkat yang paling bawah (TK/SD), bagaimana bagi orang tua yang tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya?. Ungkapnya lagi mengeluhkan.
Menurutnya hal itu, lanjutnya selain karena terdapat beberapa redaksi yang dianggapnya bertentangan dengan Undang-undang dasar 45 UU Nomor 9 Tahun 2009. Ketakutan masyarakan dengan adanya keterlibatan pihak ketiga yang hanya mencari keuntungan saja pun cukup besar. Jadi seolah-olah pendidikan yang bermutu itu kata Abriyandi, jika memiliki uang yang besar.
Dalam artian itu, Abriyandi menyatakan tanggung jawab penyediaan sumber daya pendidikan secara formal dipindahkan kepada warga. Kualitas pelayanan akan diatur oleh mekanisme pasar,dengan jumlah uang yang mampu disediakan oleh warga sebagai tolok ukur utamanya. Padahal, Undang- Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak konstitusi warga. Misalnya untuk penyelenggaraan pada tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama atau sederajat, warga tidak diperbolehkan dibebani biaya apa pun. Sesuai penegasan Pasal 31, semua sumber daya wajib ditanggung pemerintah
“Katakanlah dengan beberapa perguruan tinggi yang berada di papan atas yang memiliki beberapa jurusan-jurusan yang masih langka yang masih dibutuhkan oleh pihak ketiga. Itu masih nyambung. Tapi kan tidak semuanya bisa seperti itu, ya karena nuansanya yang kapitalis tadi. Itu membahayakan” Paparnya.
Meskipun harus ditarik benang merahnya, dirinya mengakui memang terdapat hal-hal yang positif dari diberlakukannya UU tersebut. Namun kerugian yang diderita juga tak kalah seimbang bagi dunia pendidikan Indonesia, khususnya pendidikan Kalbar. Terlalu banyak yang akan dikorbankan apabila UU BHP diteruskan. Karena itu, berbagai upaya untuk penolakan. Dan potensi kelompok miskin yang menjadi mayoritas tidak dapat terakomodasi. Hal itu menurutnya lagi dikarenakan UU tersebutb memiliki penyamarataan bagi setiap daerah serta tidak semua Perguruan Tinggi mendapatkan akses yang sama.
“Kalau perguruan tinggi-perguruan tinggi tertentu yang memiliki potensi yang besar, memang tidak ada masalah, kalau sebaliknya? Kan tidak semua rakyat Indonesia itu yang memiliki kapasitas itu, lain wilayah kan lain perguruan tingginya dan lain konteksnya”. Ungkapnya.
Manurutnya, harus ada satu standar yang lebih baik lagi, jika dibandingkan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan yang harus diterapkan bagi dunia pendidikan Nasional.
“Kalau kita ingin melakukan perbaikan-perbaikan di dunia pendidikan tidak harus melalui BHP, carikan yang lebih manusiawi dan yang lebih berpihak kepada masyarakat.” Tandasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Minggu, 11 April 2010

Sistem Pendidikan Kapitalis UU BHP Paradigma tidak manusiawi

By: Fikri Akbar

Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Nasional yang telah dicabut oleh putusan Mahkamah Konstitusi Rabu (31/3) lalu dianggap sebagai sebuah kabar gembira bagi dunia pendidikan Kalbar, karena UU BHP dipandang sebagai sistem pendidikan yang sangat kapitalis oleh Abriyandi selaku Ketua Umum Perhimpunan Guru untuk Revormasi Pendidikan (Pergerakan Kalimantan Barat). Tanggapan pencabutan UU BHP tersebut disampaikannya ketika diwawancarai di program Malay Corner Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak beberapa waktu lalu.

“Paradigma berpikir seperti ini menurut saya sangat kapitalis” tegas Abriyandi.
Yang menjadi masalah lanjutnya adalah konsep reassintance government (bantuan pemerintah) mengenai pendidikan yang telah masuk ke ranah pendidikan kapitalis. Karena menurutnya negara seolah ingin mencoba melepas diri secara pelan-pelan. Sedangkan bantuan yang diperuntukkan pusat memiliki digit maksimal.
“Apalagi rencana ini kan (UU BHP) akan terus berlanjut sampai ke tingkat yang paling bawah (TK/SD), bagaimana bagi orang tua yang tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya?. Ungkapnya lagi mengeluhkan.
Menurutnya hal itu, lanjutnya selain karena terdapat beberapa redaksi yang dianggapnya bertentangan dengan Undang-undang dasar 45 UU Nomor 9 Tahun 2009. Ketakutan masyarakan dengan adanya keterlibatan pihak ketiga yang hanya mencari keuntungan saja pun cukup besar. Jadi seolah-olah pendidikan yang bermutu itu kata Abriyandi, jika memiliki uang yang besar.
Dalam artian itu, Abriyandi menyatakan tanggung jawab penyediaan sumber daya pendidikan secara formal dipindahkan kepada warga. Kualitas pelayanan akan diatur oleh mekanisme pasar,dengan jumlah uang yang mampu disediakan oleh warga sebagai tolok ukur utamanya. Padahal, Undang- Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak konstitusi warga. Misalnya untuk penyelenggaraan pada tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama atau sederajat, warga tidak diperbolehkan dibebani biaya apa pun. Sesuai penegasan Pasal 31, semua sumber daya wajib ditanggung pemerintah
“Katakanlah dengan beberapa perguruan tinggi yang berada di papan atas yang memiliki beberapa jurusan-jurusan yang masih langka yang masih dibutuhkan oleh pihak ketiga. Itu masih nyambung. Tapi kan tidak semuanya bisa seperti itu, ya karena nuansanya yang kapitalis tadi. Itu membahayakan” Paparnya.
Meskipun harus ditarik benang merahnya, dirinya mengakui memang terdapat hal-hal yang positif dari diberlakukannya UU tersebut. Namun kerugian yang diderita juga tak kalah seimbang bagi dunia pendidikan Indonesia, khususnya pendidikan Kalbar. Terlalu banyak yang akan dikorbankan apabila UU BHP diteruskan. Karena itu, berbagai upaya untuk penolakan. Dan potensi kelompok miskin yang menjadi mayoritas tidak dapat terakomodasi. Hal itu menurutnya lagi dikarenakan UU tersebutb memiliki penyamarataan bagi setiap daerah serta tidak semua Perguruan Tinggi mendapatkan akses yang sama.
“Kalau perguruan tinggi-perguruan tinggi tertentu yang memiliki potensi yang besar, memang tidak ada masalah, kalau sebaliknya? Kan tidak semua rakyat Indonesia itu yang memiliki kapasitas itu, lain wilayah kan lain perguruan tingginya dan lain konteksnya”. Ungkapnya.
Manurutnya, harus ada satu standar yang lebih baik lagi, jika dibandingkan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan yang harus diterapkan bagi dunia pendidikan Nasional.
“Kalau kita ingin melakukan perbaikan-perbaikan di dunia pendidikan tidak harus melalui BHP, carikan yang lebih manusiawi dan yang lebih berpihak kepada masyarakat.” Tandasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar