Sabtu, 27 Februari 2010

Cermin Ajaib


Oleh:Fikri Akbar

Pada suatu hari seorang dungu terheran-heran melihat suatu benda bercahaya, kilauan itu menggelitik hasratnya untuk segera cari tahu. Pada awalnya dia bingung benda apa yang begitu menyilauakan dari kejauhan – setelah didekatinya ternyata hanya sebuah potongan cermin pecah, dalam hatinya ia berkata “Ooh.. ini toh yang membuat silau mataku”, dipandanginya lekat-lekat cermin kusam itu, kemudian berkata “Pantas saja foto ini dibuang, gambarnya saja jelek”.

Dunia ini dipenuhi banyak cermin sehingga banyak sekali yang harus kita pandangi, kita tidak pernah tahu diri kita cantik, baik, menawan dan – atau apalah itu namanya – jika bukan cermin yang menginformasikan kepada kita, dan kita tidak pula mendiktum bahwa kita telah menang, jika cermin bangsa ini buram tak terlihat.

Begitupun dengan cermin sejarah yang tak henti-hentina memberikan kita harga sebuah kesuksesan tak mesti dibarengi dengan darah dan air mata jika satu diantara kita tidak curang dalam hidup. Kebebasan berbuat yang diberikan membuat kita tidak sempat bercermin dengan wajah-wajah melankolis ditepian pantai lumpur Lapindo.

Kita ketahui hukum kebebasan dengan aksioma “kebebasan dibatasi oleh kebebasan itu sendiri”. Kita bebas berteriak kapan saja dan dimana saja selama kita masih memiliki sedikit sisa suara. Begitupun juga orang lain memiliki kebebasan dengan atau untuk tidak mendengarkan suara jelek kita.

Dengan adanya cermin kehidupan, kita akan optimis dalam melagkah tanpa harus surut kebelakang. Dari kecil hingga dewasa kita telah belajar untuk menjadikan pengalaman sesuatu yang berharga. Inilah yang menurut definisi Behaviorisme hal belajar, “Belajar ialah hal perubahan dalam perbuatan atau dalam melakukan sesuatu yang berhubungan dengan beberapa pengalaman. Jika tidak ada perubahan dalam pelaksanaan atau cara melakukan itu yang dapat dilihat atau diamati, maka tidak ada hal belajar yang terjadi.

Permasalahannya bukan pada cermin kusam, hingga kita harus membuang ataupun memecahkannya tapi bagaimana kita melihat kedalam cermin tersebut. Mata ini harus belajar untuk dewasa, mau belajar menghargai orang lain, menerima kemampuan orang lain dengan hati terbuka dan lapang dada. Kita menjadi cermin bagi orang lain dan begitu pun sebaliknya.

Ketika kita tahu bahwa sedikit sekali orang yang menyimpan cermin di dalam hati dan pikirannya. Pada saat yang bersamaan pula orang akan kehilangan hampir sepenuhnya kebahagiaan hidupnya. Bahkan beberapa orang diantara kita tidak lagi memiliki rasa malu untuk melakukan tindakan memalukan yang dianggap sebagai suatu ekspresi kebenaran diri. Menutupi kekurangan dengan kekurangan, menutupi keburukan dengan keburukan, menutupi kejahatan dengan kejahatan, menutupi kebohongan dengan penghianatan yang menjijikan.

Hal di atas menjadi “seksi” lagi ketika kekuasaan menjadi pendukung dan pelindung, mengambil jalan pintas bagi setiap permasalahan pelik. Mengeruk, memeras, aniaya, ekploitasi gila, konflik kepentingan dibalik wajah kebebasan berdemokrasi menjadi kian lumrah. Dan hanya orang-orang yang memakai topeng yang tidak bisa melihat wajah aslinya di dalam cermin.

Demikian golongan putih memandang perubahan dan perombakan besar yang dijanjikan tidak membuahkan apa-apa, bahkan lebih liar dari sebuah penataan ulang demokrasi di Prancis. Iklim demokrasi sepatutnya menjadikan kursi lebih kecil daripada meja. Porsi pemerintah lebih kecil dan lebih banyak kepada “menghidangkan” kebijakan-kebijakan yang lebih bemoral bagi masyarakat rakyat. Mengeliminir kepentingan-kepentingan yang bepihak, sehingga kedepan tidak ada lagi papan catur kokoh terbuat dari kayu jati menghuni meja setebal empat inci, tapi menggantinya dengan lebih banyak lagi cermin untuk selalu menghiasi diri dengan kebaikan dan rasa malu, untuk melakukan hal-hal yang lebih pantas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 27 Februari 2010

Cermin Ajaib


Oleh:Fikri Akbar

Pada suatu hari seorang dungu terheran-heran melihat suatu benda bercahaya, kilauan itu menggelitik hasratnya untuk segera cari tahu. Pada awalnya dia bingung benda apa yang begitu menyilauakan dari kejauhan – setelah didekatinya ternyata hanya sebuah potongan cermin pecah, dalam hatinya ia berkata “Ooh.. ini toh yang membuat silau mataku”, dipandanginya lekat-lekat cermin kusam itu, kemudian berkata “Pantas saja foto ini dibuang, gambarnya saja jelek”.

Dunia ini dipenuhi banyak cermin sehingga banyak sekali yang harus kita pandangi, kita tidak pernah tahu diri kita cantik, baik, menawan dan – atau apalah itu namanya – jika bukan cermin yang menginformasikan kepada kita, dan kita tidak pula mendiktum bahwa kita telah menang, jika cermin bangsa ini buram tak terlihat.

Begitupun dengan cermin sejarah yang tak henti-hentina memberikan kita harga sebuah kesuksesan tak mesti dibarengi dengan darah dan air mata jika satu diantara kita tidak curang dalam hidup. Kebebasan berbuat yang diberikan membuat kita tidak sempat bercermin dengan wajah-wajah melankolis ditepian pantai lumpur Lapindo.

Kita ketahui hukum kebebasan dengan aksioma “kebebasan dibatasi oleh kebebasan itu sendiri”. Kita bebas berteriak kapan saja dan dimana saja selama kita masih memiliki sedikit sisa suara. Begitupun juga orang lain memiliki kebebasan dengan atau untuk tidak mendengarkan suara jelek kita.

Dengan adanya cermin kehidupan, kita akan optimis dalam melagkah tanpa harus surut kebelakang. Dari kecil hingga dewasa kita telah belajar untuk menjadikan pengalaman sesuatu yang berharga. Inilah yang menurut definisi Behaviorisme hal belajar, “Belajar ialah hal perubahan dalam perbuatan atau dalam melakukan sesuatu yang berhubungan dengan beberapa pengalaman. Jika tidak ada perubahan dalam pelaksanaan atau cara melakukan itu yang dapat dilihat atau diamati, maka tidak ada hal belajar yang terjadi.

Permasalahannya bukan pada cermin kusam, hingga kita harus membuang ataupun memecahkannya tapi bagaimana kita melihat kedalam cermin tersebut. Mata ini harus belajar untuk dewasa, mau belajar menghargai orang lain, menerima kemampuan orang lain dengan hati terbuka dan lapang dada. Kita menjadi cermin bagi orang lain dan begitu pun sebaliknya.

Ketika kita tahu bahwa sedikit sekali orang yang menyimpan cermin di dalam hati dan pikirannya. Pada saat yang bersamaan pula orang akan kehilangan hampir sepenuhnya kebahagiaan hidupnya. Bahkan beberapa orang diantara kita tidak lagi memiliki rasa malu untuk melakukan tindakan memalukan yang dianggap sebagai suatu ekspresi kebenaran diri. Menutupi kekurangan dengan kekurangan, menutupi keburukan dengan keburukan, menutupi kejahatan dengan kejahatan, menutupi kebohongan dengan penghianatan yang menjijikan.

Hal di atas menjadi “seksi” lagi ketika kekuasaan menjadi pendukung dan pelindung, mengambil jalan pintas bagi setiap permasalahan pelik. Mengeruk, memeras, aniaya, ekploitasi gila, konflik kepentingan dibalik wajah kebebasan berdemokrasi menjadi kian lumrah. Dan hanya orang-orang yang memakai topeng yang tidak bisa melihat wajah aslinya di dalam cermin.

Demikian golongan putih memandang perubahan dan perombakan besar yang dijanjikan tidak membuahkan apa-apa, bahkan lebih liar dari sebuah penataan ulang demokrasi di Prancis. Iklim demokrasi sepatutnya menjadikan kursi lebih kecil daripada meja. Porsi pemerintah lebih kecil dan lebih banyak kepada “menghidangkan” kebijakan-kebijakan yang lebih bemoral bagi masyarakat rakyat. Mengeliminir kepentingan-kepentingan yang bepihak, sehingga kedepan tidak ada lagi papan catur kokoh terbuat dari kayu jati menghuni meja setebal empat inci, tapi menggantinya dengan lebih banyak lagi cermin untuk selalu menghiasi diri dengan kebaikan dan rasa malu, untuk melakukan hal-hal yang lebih pantas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar