Sabtu, 27 Februari 2010
Pertanyaan Besar Dua Agama Dunia
Oleh: Fikri Akbar
Agama Hindu;
Agama Hindu, yang dipercayai merupakan agama tertua di dunia, sangatlah tidak masuk akal, karena beragam sejarah-sejarah agama telah menginformasikan kepada kita bahwa kepercayaan tertua adalah monoteisme (kepercayaan pada satu Tuhan). Sedangkan agama Hindu mempercayai adanya banyak dewa-dewa yang menguasai jagad raya.
Pada awalnya manusia mempercayai kepada Tuhan yang satu dan absolut. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu, keabsolutan Tuhan terlalu transenden (jauh) untuk dicapai oleh manusia. Sehingga pada akhirnya manusia menciptakan “tuhan-tuhan baru” yang lebih dekat.
Fenomena Paganisme (polyteis) ini timbul karena reaksi dan sekaligus merupakan tindakan nekad yang juga dianut oleh suku-suku pribumi di Afrika. Mereka yang pada awalnya begitu taat, setiap harinya menyembah kepada Tuhan, merindukannya serta menyampaikan kegelisahannya kepada Tuhan. – Merasa jenuh, karena yang dirindukan tak pernah jua datang, tak pernah hadir pada hari-hari mereka. Berpikir Tuhan terlalu jauh untuk disembah, terlalu agung untuk disentuh, terlalu suci untuk bertandang ke bumi – kemudian menggantikannya dengan tuhan-tuhan yang lebih dekat, lebih rendah agar mudah dijangkau.
Kasta pada agama Hindu yang pada mulanya hanya merupakan tingkat, atau lebih kepada penggolongan manusia, seperti halnya dalam agama samawi (Islam) yang menggolongkan dari tingkat awam sampai kepada tingkat hakikat. Namun perbedaan ini kian meruncing tatkala penggolongan ini diartikan secara fundamental. Hingga kasta Sudra tidak boleh menikah kepada kasta yang lebih tinggi (Brahma).
Dikotomi yang terlalu diartikan secara radikal dan ekstrim, sehingga membuahkan pertentangan-pertentangan kepada fitrah manusia itu sendiri. Walaupun kita ketahui semua agama memiliki ‘potensi’ yang sama. Namun, jika hal ini terus berlanjut sampai kepada taraf diskriminasi dan penindasan terhadap mereka yang lemah (statusnya) – maka kemarahan dan kekecewaan yang terpendam sejak lama serta ketidak puasan terhadap perlakuaan agama, yang akan menjadikan suatu pemberontakan maha besar, dan sulit untuk dilupakan oleh sejarah.
Seperti pada agama Hindu sendiri misalnya. Gerakan purifikasi ajaran agama yang dipimpin oleh Raja Ram Mohan Roy yang sekaligus juga merupakan gerakan pembebasan dari praktik-praktik sosial yang tidak humanis, seperti tradisi Sati, yaitu janda-janda membakar diri di pancaka suami mereka yang meninggal. (Eka Hendry, Monopoli Tafsir Kebenaran, 2003, hlm 34).
Agama Budha;
Agama yang dibawa oleh Ghautama Budha ini menjelaskan tentang bagaimana menjalani hidup dengan baik. Tuhan agama yang tidak berbentuk personal (alam semesta) mengindikasikan ketidak jelasan teologis bagi agama Budha itu sendiri. Sepakat atau tidak, mengetahui Tuhan adalah merupakan begining step dalam beragama, apalah artinya sebuah negara yang tidak jelas siapa presidennya. Membingungkan bagi rakyatnya untuk, dan kepada siapa dia mengabdi, mengadu, menaruh kepercayaan, kebijaksanaan, dsb.
Keberadaan Tuhan merupakan peletak dasar dan utama dari terwujudnya suatu agama atau kepercayaan. Jika Budha percaya pada alam semesta, berarti sama ada percaya kepada kekuatan alam itu sendiri, dan kepercayaan bahwa alam itu digerakkan dengan kekuatan oleh yang Maha Kuat. Dengan demikian sesungguhnya agama Budha telah memiliki Tuhan secara personal, seperti yang dilakukan oleh kepercayaan kuno – karena Tuhan terlalu tinggi untuk di jangkau, mereka mengasumsikannya dengan Tuhan langit, terlalu besar untuk dipeluk, terlalu suci untuk disentuh, terlalu maha, dan maha segala-galanya sehingga tidak ada lagi asumsi yang paling konkret selain jagad raya atau alam semesta ini.
Reinkarnasi (penjelmaan / penitisan kembali) bagi umat Budha, membuktikan tidak adanya pula hari pembalasan, tidak mengenal pedihnya siksaan bagi sang pendosa, maupun merasakan kenikmatan surgawi bagi mereka yang setia pada Tuhanya.
Dipercayai dalam Budha sendiri, barang siapa yang berbuat kebajikan maka pada kehidupan mendatang, ia akan diberikan kesuksesan, kesenangan sebagai balasan bagi kebajikannya. Dan sebaliknya bagi mereka yang menentang, diberikan kesengsaraan, penderitaan maupun kesukaran – bahkan sampai kepada taraf perubahan bentuk (dari manusia menjadi hewan) seperti; anjing, babi, kodok dsb.
Untuk melakukan hal besar tersebut (reinkarnasi), setidaknya membutuhkan sebuah “tangan” yang tidak hanya maha mampu, tapi juga maha bijaksana (hakim) untuk menentukan benar dan salah bagi seorang Budha. Karena proses alamiah tidak kuasa melakukannya. Ataukah seorang Budha hanya ‘dipaksa’ pada pemahaman agama yang rigid, atau tidakkah seorang Budha diperkenankan untuk bertanya siapa sesungguhnya yang berada dibalik semua ini, atau siapa yang telah menciptakan alam semesta berikut hukum-hukum yang mengikatnya (Abidarma Pitaka). Ataukah agama hanya sekedar hasil budaya, dengan sebuah tujuan akhir yang membingungkan.
Wallahu a’lam bissawab.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Sabtu, 27 Februari 2010
Pertanyaan Besar Dua Agama Dunia
Oleh: Fikri Akbar
Agama Hindu;
Agama Hindu, yang dipercayai merupakan agama tertua di dunia, sangatlah tidak masuk akal, karena beragam sejarah-sejarah agama telah menginformasikan kepada kita bahwa kepercayaan tertua adalah monoteisme (kepercayaan pada satu Tuhan). Sedangkan agama Hindu mempercayai adanya banyak dewa-dewa yang menguasai jagad raya.
Pada awalnya manusia mempercayai kepada Tuhan yang satu dan absolut. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu, keabsolutan Tuhan terlalu transenden (jauh) untuk dicapai oleh manusia. Sehingga pada akhirnya manusia menciptakan “tuhan-tuhan baru” yang lebih dekat.
Fenomena Paganisme (polyteis) ini timbul karena reaksi dan sekaligus merupakan tindakan nekad yang juga dianut oleh suku-suku pribumi di Afrika. Mereka yang pada awalnya begitu taat, setiap harinya menyembah kepada Tuhan, merindukannya serta menyampaikan kegelisahannya kepada Tuhan. – Merasa jenuh, karena yang dirindukan tak pernah jua datang, tak pernah hadir pada hari-hari mereka. Berpikir Tuhan terlalu jauh untuk disembah, terlalu agung untuk disentuh, terlalu suci untuk bertandang ke bumi – kemudian menggantikannya dengan tuhan-tuhan yang lebih dekat, lebih rendah agar mudah dijangkau.
Kasta pada agama Hindu yang pada mulanya hanya merupakan tingkat, atau lebih kepada penggolongan manusia, seperti halnya dalam agama samawi (Islam) yang menggolongkan dari tingkat awam sampai kepada tingkat hakikat. Namun perbedaan ini kian meruncing tatkala penggolongan ini diartikan secara fundamental. Hingga kasta Sudra tidak boleh menikah kepada kasta yang lebih tinggi (Brahma).
Dikotomi yang terlalu diartikan secara radikal dan ekstrim, sehingga membuahkan pertentangan-pertentangan kepada fitrah manusia itu sendiri. Walaupun kita ketahui semua agama memiliki ‘potensi’ yang sama. Namun, jika hal ini terus berlanjut sampai kepada taraf diskriminasi dan penindasan terhadap mereka yang lemah (statusnya) – maka kemarahan dan kekecewaan yang terpendam sejak lama serta ketidak puasan terhadap perlakuaan agama, yang akan menjadikan suatu pemberontakan maha besar, dan sulit untuk dilupakan oleh sejarah.
Seperti pada agama Hindu sendiri misalnya. Gerakan purifikasi ajaran agama yang dipimpin oleh Raja Ram Mohan Roy yang sekaligus juga merupakan gerakan pembebasan dari praktik-praktik sosial yang tidak humanis, seperti tradisi Sati, yaitu janda-janda membakar diri di pancaka suami mereka yang meninggal. (Eka Hendry, Monopoli Tafsir Kebenaran, 2003, hlm 34).
Agama Budha;
Agama yang dibawa oleh Ghautama Budha ini menjelaskan tentang bagaimana menjalani hidup dengan baik. Tuhan agama yang tidak berbentuk personal (alam semesta) mengindikasikan ketidak jelasan teologis bagi agama Budha itu sendiri. Sepakat atau tidak, mengetahui Tuhan adalah merupakan begining step dalam beragama, apalah artinya sebuah negara yang tidak jelas siapa presidennya. Membingungkan bagi rakyatnya untuk, dan kepada siapa dia mengabdi, mengadu, menaruh kepercayaan, kebijaksanaan, dsb.
Keberadaan Tuhan merupakan peletak dasar dan utama dari terwujudnya suatu agama atau kepercayaan. Jika Budha percaya pada alam semesta, berarti sama ada percaya kepada kekuatan alam itu sendiri, dan kepercayaan bahwa alam itu digerakkan dengan kekuatan oleh yang Maha Kuat. Dengan demikian sesungguhnya agama Budha telah memiliki Tuhan secara personal, seperti yang dilakukan oleh kepercayaan kuno – karena Tuhan terlalu tinggi untuk di jangkau, mereka mengasumsikannya dengan Tuhan langit, terlalu besar untuk dipeluk, terlalu suci untuk disentuh, terlalu maha, dan maha segala-galanya sehingga tidak ada lagi asumsi yang paling konkret selain jagad raya atau alam semesta ini.
Reinkarnasi (penjelmaan / penitisan kembali) bagi umat Budha, membuktikan tidak adanya pula hari pembalasan, tidak mengenal pedihnya siksaan bagi sang pendosa, maupun merasakan kenikmatan surgawi bagi mereka yang setia pada Tuhanya.
Dipercayai dalam Budha sendiri, barang siapa yang berbuat kebajikan maka pada kehidupan mendatang, ia akan diberikan kesuksesan, kesenangan sebagai balasan bagi kebajikannya. Dan sebaliknya bagi mereka yang menentang, diberikan kesengsaraan, penderitaan maupun kesukaran – bahkan sampai kepada taraf perubahan bentuk (dari manusia menjadi hewan) seperti; anjing, babi, kodok dsb.
Untuk melakukan hal besar tersebut (reinkarnasi), setidaknya membutuhkan sebuah “tangan” yang tidak hanya maha mampu, tapi juga maha bijaksana (hakim) untuk menentukan benar dan salah bagi seorang Budha. Karena proses alamiah tidak kuasa melakukannya. Ataukah seorang Budha hanya ‘dipaksa’ pada pemahaman agama yang rigid, atau tidakkah seorang Budha diperkenankan untuk bertanya siapa sesungguhnya yang berada dibalik semua ini, atau siapa yang telah menciptakan alam semesta berikut hukum-hukum yang mengikatnya (Abidarma Pitaka). Ataukah agama hanya sekedar hasil budaya, dengan sebuah tujuan akhir yang membingungkan.
Wallahu a’lam bissawab.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar