Fikri Akbar, Pontianak
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Hadi Supeno memandang, banyak hal yang harus dibenahi oleh teman-teman dari kepolisian, terkait penanganan kasus anak dibawah umur atau Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH). Hal itu disampaikan disela-sela melakukan workshop Indentifikasi Masalah Perundangan Anak dan Tindak Lanjut ABH dan Penanganan Anak sebagai Korban Eksploitasi, di Hotel Santika, Rabu (27/10).
Hadi menilai, perlakuan penanganan tindak pidana terhadap anak kerap disamakan dengan orang dewasa oleh kepolisian di Indonesia. Padahal kata dia, menurut peraturan Kapolri nomor 8 tanggal 22 Juni 2009 tentang implementasi HAM di kalangan Polri disebutkan, penanganan, penyidikan dan penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dalam keadaan terpaksan sebagai upaya terakhir yang dilakukan.
“Itu di pasal 25 dan 28 menyebutkan, bahwa penyidikan, penahanan, terhadap anak hanya dapat dilakukan dalam keadaan terpaksa dan sebagai upaya terakhir. Itu implisit untuk polisi dalam menyelesaikan kasus anak tidak dengan pemidanaan,” kata Hadi.
Yang kedua, lajut Hadi, adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) 6 Instansi pada tanggal 22 Desember tahun 2009 tentang penanganan ABH. 6 instansi yang dimaksud Hadi, yaitu, Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, Kapolri, Mentri Hukum dan Ham RI, Mentri Sosial RI dan Mentri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI.
“SKB itu menyebutkan, penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan dengan pendekatan restorasi justice dan diversi atau pengalihan hukuman, yakni anak tidak harus masuk penjara, bisa dikembalikan dengan orangtuanya dengan pembinaan, bisa dititipkan ke lembaga-lembaga sosial, bukan ke penjara,” jelasnya.
Restorasi atau keadilan dengan pemilihan sangat jarang digunakan oleh pihak kepolisian. Hanya beberapa, menurutnya yang telah menjalankan restorasi justice, diantarnya Aceh, Jawa tengah dan NTB,”
Ditempat lain saya masih melihat, Polisi masih gemar mengadili anak secara formal, dan itu tidak salah, pertama itu tidak paham, dan yang kedua itu lebih mudah ukurannya, undang-undangnya ada dan bunyinya begini gitu lho. Padahal restorasi justice diperlukan dalam hubungan antara pelaku dan korban untuk keseimbangan kosmos dan perdamaian lebih jauh,” jelas Hadi, yang juga merupakan salah seorang yang telah menulis banyak artikel dan buku tentang anak itu.
Diantara karya-karya (buku) Hadi Supeno adalah; Dekriminalisasi Anak (Transformasi Menuju Perlindungan Anak Berkonflik Dengan Hukum) 2010, Mewaspadai Ekploitasi Anak 2010, Menyelamatkan Anak (Bunga Rampai Percikan Perlindungan Anak) 2010.
Namun sejauh ini, kata Hadi menyadari, kemungkinan pihak kepolisian di daerah belum melakukan langkah restorasi justice dan diversi, lebih dikarenakan belum adanya regulasi ataub UU yang betul-betul mengatur penanganan ABH kepada pihak kepolian.
“Jadi betul regulasi secara Undang-undang belum ada tapi sesungguhnya instrument Nasional sudah ada yaitu SKB 6 Instansi,” kata Hadi, dan menurut dia itu bisa dijadikan dasar.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Sabtu, 30 Oktober 2010
Hadi Supeno: Anak yang melanggar Hukum Tidak harus Di Penjara
Fikri Akbar, Pontianak
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Hadi Supeno memandang, banyak hal yang harus dibenahi oleh teman-teman dari kepolisian, terkait penanganan kasus anak dibawah umur atau Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH). Hal itu disampaikan disela-sela melakukan workshop Indentifikasi Masalah Perundangan Anak dan Tindak Lanjut ABH dan Penanganan Anak sebagai Korban Eksploitasi, di Hotel Santika, Rabu (27/10).
Hadi menilai, perlakuan penanganan tindak pidana terhadap anak kerap disamakan dengan orang dewasa oleh kepolisian di Indonesia. Padahal kata dia, menurut peraturan Kapolri nomor 8 tanggal 22 Juni 2009 tentang implementasi HAM di kalangan Polri disebutkan, penanganan, penyidikan dan penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dalam keadaan terpaksan sebagai upaya terakhir yang dilakukan.
“Itu di pasal 25 dan 28 menyebutkan, bahwa penyidikan, penahanan, terhadap anak hanya dapat dilakukan dalam keadaan terpaksa dan sebagai upaya terakhir. Itu implisit untuk polisi dalam menyelesaikan kasus anak tidak dengan pemidanaan,” kata Hadi.
Yang kedua, lajut Hadi, adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) 6 Instansi pada tanggal 22 Desember tahun 2009 tentang penanganan ABH. 6 instansi yang dimaksud Hadi, yaitu, Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, Kapolri, Mentri Hukum dan Ham RI, Mentri Sosial RI dan Mentri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI.
“SKB itu menyebutkan, penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan dengan pendekatan restorasi justice dan diversi atau pengalihan hukuman, yakni anak tidak harus masuk penjara, bisa dikembalikan dengan orangtuanya dengan pembinaan, bisa dititipkan ke lembaga-lembaga sosial, bukan ke penjara,” jelasnya.
Restorasi atau keadilan dengan pemilihan sangat jarang digunakan oleh pihak kepolisian. Hanya beberapa, menurutnya yang telah menjalankan restorasi justice, diantarnya Aceh, Jawa tengah dan NTB,”
Ditempat lain saya masih melihat, Polisi masih gemar mengadili anak secara formal, dan itu tidak salah, pertama itu tidak paham, dan yang kedua itu lebih mudah ukurannya, undang-undangnya ada dan bunyinya begini gitu lho. Padahal restorasi justice diperlukan dalam hubungan antara pelaku dan korban untuk keseimbangan kosmos dan perdamaian lebih jauh,” jelas Hadi, yang juga merupakan salah seorang yang telah menulis banyak artikel dan buku tentang anak itu.
Diantara karya-karya (buku) Hadi Supeno adalah; Dekriminalisasi Anak (Transformasi Menuju Perlindungan Anak Berkonflik Dengan Hukum) 2010, Mewaspadai Ekploitasi Anak 2010, Menyelamatkan Anak (Bunga Rampai Percikan Perlindungan Anak) 2010.
Namun sejauh ini, kata Hadi menyadari, kemungkinan pihak kepolisian di daerah belum melakukan langkah restorasi justice dan diversi, lebih dikarenakan belum adanya regulasi ataub UU yang betul-betul mengatur penanganan ABH kepada pihak kepolian.
“Jadi betul regulasi secara Undang-undang belum ada tapi sesungguhnya instrument Nasional sudah ada yaitu SKB 6 Instansi,” kata Hadi, dan menurut dia itu bisa dijadikan dasar.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Hadi Supeno memandang, banyak hal yang harus dibenahi oleh teman-teman dari kepolisian, terkait penanganan kasus anak dibawah umur atau Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH). Hal itu disampaikan disela-sela melakukan workshop Indentifikasi Masalah Perundangan Anak dan Tindak Lanjut ABH dan Penanganan Anak sebagai Korban Eksploitasi, di Hotel Santika, Rabu (27/10).
Hadi menilai, perlakuan penanganan tindak pidana terhadap anak kerap disamakan dengan orang dewasa oleh kepolisian di Indonesia. Padahal kata dia, menurut peraturan Kapolri nomor 8 tanggal 22 Juni 2009 tentang implementasi HAM di kalangan Polri disebutkan, penanganan, penyidikan dan penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dalam keadaan terpaksan sebagai upaya terakhir yang dilakukan.
“Itu di pasal 25 dan 28 menyebutkan, bahwa penyidikan, penahanan, terhadap anak hanya dapat dilakukan dalam keadaan terpaksa dan sebagai upaya terakhir. Itu implisit untuk polisi dalam menyelesaikan kasus anak tidak dengan pemidanaan,” kata Hadi.
Yang kedua, lajut Hadi, adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) 6 Instansi pada tanggal 22 Desember tahun 2009 tentang penanganan ABH. 6 instansi yang dimaksud Hadi, yaitu, Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, Kapolri, Mentri Hukum dan Ham RI, Mentri Sosial RI dan Mentri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI.
“SKB itu menyebutkan, penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan dengan pendekatan restorasi justice dan diversi atau pengalihan hukuman, yakni anak tidak harus masuk penjara, bisa dikembalikan dengan orangtuanya dengan pembinaan, bisa dititipkan ke lembaga-lembaga sosial, bukan ke penjara,” jelasnya.
Restorasi atau keadilan dengan pemilihan sangat jarang digunakan oleh pihak kepolisian. Hanya beberapa, menurutnya yang telah menjalankan restorasi justice, diantarnya Aceh, Jawa tengah dan NTB,”
Ditempat lain saya masih melihat, Polisi masih gemar mengadili anak secara formal, dan itu tidak salah, pertama itu tidak paham, dan yang kedua itu lebih mudah ukurannya, undang-undangnya ada dan bunyinya begini gitu lho. Padahal restorasi justice diperlukan dalam hubungan antara pelaku dan korban untuk keseimbangan kosmos dan perdamaian lebih jauh,” jelas Hadi, yang juga merupakan salah seorang yang telah menulis banyak artikel dan buku tentang anak itu.
Diantara karya-karya (buku) Hadi Supeno adalah; Dekriminalisasi Anak (Transformasi Menuju Perlindungan Anak Berkonflik Dengan Hukum) 2010, Mewaspadai Ekploitasi Anak 2010, Menyelamatkan Anak (Bunga Rampai Percikan Perlindungan Anak) 2010.
Namun sejauh ini, kata Hadi menyadari, kemungkinan pihak kepolisian di daerah belum melakukan langkah restorasi justice dan diversi, lebih dikarenakan belum adanya regulasi ataub UU yang betul-betul mengatur penanganan ABH kepada pihak kepolian.
“Jadi betul regulasi secara Undang-undang belum ada tapi sesungguhnya instrument Nasional sudah ada yaitu SKB 6 Instansi,” kata Hadi, dan menurut dia itu bisa dijadikan dasar.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar