Fikri Akbar, Pontianak
Bukan merupakan rahasia umum, jika dikatakan Rumah Sakit Umum Daerah Soedarso merupakan salah satu lembaga publik yang memiliki regulasi tersendiri dalam mengambil kebijakan menyampaikan informasi kepada media atau pers. Namun regulasi yang dibalut dengan birokrasi tersebut cenderung mengikat dan bertele-tele.
Seperti contohnya, jika seorang wartawan yang ingin mewawancarai salah seorang pejabat Soedarso, mesti meminta izin terlebih dahulu sebelum bertemu. Jalur biasa yang ditempuh yakni pertama memintakan kepada humas untuk membuat surat ijin (nama, asal media, nomor redaksi, kepentingannya, dsb), tentu dengan menunjukkan surat bukti pers yang bersangkutan, seperti tanda penmgenal dan sebagainya. Setelah selesai, dari humas kemudian ditembuskan kepada an Direktur RSUD atau Wakil Derektur (Wadir), dalam hal itu Kabid Pengendalian. Kemudian surat di cap.
Setelah di sempurna, barulah seorang wartawan bisa menjalankan tugas jurnalismenya dengan tenang. Meski begitu, surat ijin hanya berlaku bagi satu orang nara sumber saja dengan waktu selambat-lambatnya 1 X 24 jam. Artinya dua narsum, dua surat ‘kuasanya’. Dan pembuatan surat itu, tidak jarang membutukan waktu kurang dari 5 menit sampai 20 menit.
Sejumlah kalangan meniai bahwa, Soedarso dengan caranya itu, telah melanggar UU transparansi, karena dianggap telah menghalang-halangi tugas jurnaslime pers yang sah dimata hukum. Bahkan beberapa kalangan menuding, bahwa Soedarso sengaja menutup-nutupi informasi ke media.
Namun ketika hal tersebut dikonfirmasikan, Kepala Bidang Kabid Pelayanan RSUD Soedarso, Drg. Hj. Tita Selati Sundari membantahnya, dia mengatakan, bahwa tidak benar jika Soedarso dengan surat pengantar atau ijin itu sengaja memperlambat proses penyampaian informasi kepada media, yang ada, kata dia Soedarso hanya menjalankan protap yang ada, sesuai dengan surat edaran yang dikeluarkan oleh Dirut RSUD, Gede Sanjaya.
“Ooh tidak, tidak ada itu, pertama, kita berdasarkan surat edaran dari Dirut rumah sakit,” bantah Tita tegas, ketika ditemui di ruang kerjanya, Kamis (29/9) kemarin.
Menurut Tita, selama ini rumah sakitnya tidak pernah sekalipun menutup diri dengan informasi apalagi kepada wartawan. Dan menurut Tita, bahkan untuk kasus-kasus tertentu, beberapa media sering difaslitasi langsung oleh petugas supervisi dalam melakukan peliputan.
“Untuk kasus-kasus tertentu, dimana khusus pada hari Sabtu dan Minggu, dalam kategori darurat, bisa langsung koordinasi ke saya, memang tidak ada surat, saya akan meminta ke supervisi untuk memfasilitasi wartawan untuk meliput,” katanya.
Menurut keterangan Tita, surat edaran tersebut baru dikeluarkan pada 23 Maret 2010 ini. Rumkit terpakasa mengeluarkan surat edaran bernomor; 485/1458/RSDS/PDL-B/2010 tersebut karena beberapa waktu silam rumkit sering merasa dirugikan dengan pemberitaan yang miring oleh beberapa media. Tanpa mengetahui informasi dari siapa diperoleh dan media mana.
“Kalau tidak ada seperti ini, Pertama, mereka tidak terdata, dan kedua siapa yang mau bertanggungjawab, kadang-kadang orang itu suka lari dari tanggungjawab, informasi dari siapa, dia itu sebagai apa (jabatannya di rumkit,red)? Gitu lho. Kalau anda mau bertanya masalah pelayanan, maka ke sayalah orangnya, jelas! harus ada hitam diatas putih, agar tidak dianggap liar,” tegas Tita.
“Dan mereka (dokter atau petugas bersangkutan) diruangan takut, kalau mereka main terima-terima aja, akan disalahkan dengan pimpinan, karena sudah ada edarannya, protapnya sudah jelas, peliputan ya seperti inilah, jadi sekali lagi dasarnya ini,” kata Tita sambil menunjuk sudat edaran.
Dijelaskannya lagi, setiap wartan bebas melakukan peliputan selama mengantongi surat yang dikeluarkan oleh Humas. Atau katanya, jika dalam kondisi yang mendesak, seorang wartawan boleh saja menghubunginya sebagai Kabid Pelayanan untuk ijin pertelepon, dan ijin berbentuk surat dapat menyusul.
“Dan nanti setelah ke saya di bidang pelayanan, nanti apa masalahnya, jika oke saya tinggal panggil instalasinya, atau penanggungjawabnya, saya akan koordinasi, ada wartawan yang akan meliput, silahkan difasilitasi,” pungkasnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Jumat, 15 Oktober 2010
Sudarso Bantah Tutup-tutup Informasi ke Media
Fikri Akbar, Pontianak
Bukan merupakan rahasia umum, jika dikatakan Rumah Sakit Umum Daerah Soedarso merupakan salah satu lembaga publik yang memiliki regulasi tersendiri dalam mengambil kebijakan menyampaikan informasi kepada media atau pers. Namun regulasi yang dibalut dengan birokrasi tersebut cenderung mengikat dan bertele-tele.
Seperti contohnya, jika seorang wartawan yang ingin mewawancarai salah seorang pejabat Soedarso, mesti meminta izin terlebih dahulu sebelum bertemu. Jalur biasa yang ditempuh yakni pertama memintakan kepada humas untuk membuat surat ijin (nama, asal media, nomor redaksi, kepentingannya, dsb), tentu dengan menunjukkan surat bukti pers yang bersangkutan, seperti tanda penmgenal dan sebagainya. Setelah selesai, dari humas kemudian ditembuskan kepada an Direktur RSUD atau Wakil Derektur (Wadir), dalam hal itu Kabid Pengendalian. Kemudian surat di cap.
Setelah di sempurna, barulah seorang wartawan bisa menjalankan tugas jurnalismenya dengan tenang. Meski begitu, surat ijin hanya berlaku bagi satu orang nara sumber saja dengan waktu selambat-lambatnya 1 X 24 jam. Artinya dua narsum, dua surat ‘kuasanya’. Dan pembuatan surat itu, tidak jarang membutukan waktu kurang dari 5 menit sampai 20 menit.
Sejumlah kalangan meniai bahwa, Soedarso dengan caranya itu, telah melanggar UU transparansi, karena dianggap telah menghalang-halangi tugas jurnaslime pers yang sah dimata hukum. Bahkan beberapa kalangan menuding, bahwa Soedarso sengaja menutup-nutupi informasi ke media.
Namun ketika hal tersebut dikonfirmasikan, Kepala Bidang Kabid Pelayanan RSUD Soedarso, Drg. Hj. Tita Selati Sundari membantahnya, dia mengatakan, bahwa tidak benar jika Soedarso dengan surat pengantar atau ijin itu sengaja memperlambat proses penyampaian informasi kepada media, yang ada, kata dia Soedarso hanya menjalankan protap yang ada, sesuai dengan surat edaran yang dikeluarkan oleh Dirut RSUD, Gede Sanjaya.
“Ooh tidak, tidak ada itu, pertama, kita berdasarkan surat edaran dari Dirut rumah sakit,” bantah Tita tegas, ketika ditemui di ruang kerjanya, Kamis (29/9) kemarin.
Menurut Tita, selama ini rumah sakitnya tidak pernah sekalipun menutup diri dengan informasi apalagi kepada wartawan. Dan menurut Tita, bahkan untuk kasus-kasus tertentu, beberapa media sering difaslitasi langsung oleh petugas supervisi dalam melakukan peliputan.
“Untuk kasus-kasus tertentu, dimana khusus pada hari Sabtu dan Minggu, dalam kategori darurat, bisa langsung koordinasi ke saya, memang tidak ada surat, saya akan meminta ke supervisi untuk memfasilitasi wartawan untuk meliput,” katanya.
Menurut keterangan Tita, surat edaran tersebut baru dikeluarkan pada 23 Maret 2010 ini. Rumkit terpakasa mengeluarkan surat edaran bernomor; 485/1458/RSDS/PDL-B/2010 tersebut karena beberapa waktu silam rumkit sering merasa dirugikan dengan pemberitaan yang miring oleh beberapa media. Tanpa mengetahui informasi dari siapa diperoleh dan media mana.
“Kalau tidak ada seperti ini, Pertama, mereka tidak terdata, dan kedua siapa yang mau bertanggungjawab, kadang-kadang orang itu suka lari dari tanggungjawab, informasi dari siapa, dia itu sebagai apa (jabatannya di rumkit,red)? Gitu lho. Kalau anda mau bertanya masalah pelayanan, maka ke sayalah orangnya, jelas! harus ada hitam diatas putih, agar tidak dianggap liar,” tegas Tita.
“Dan mereka (dokter atau petugas bersangkutan) diruangan takut, kalau mereka main terima-terima aja, akan disalahkan dengan pimpinan, karena sudah ada edarannya, protapnya sudah jelas, peliputan ya seperti inilah, jadi sekali lagi dasarnya ini,” kata Tita sambil menunjuk sudat edaran.
Dijelaskannya lagi, setiap wartan bebas melakukan peliputan selama mengantongi surat yang dikeluarkan oleh Humas. Atau katanya, jika dalam kondisi yang mendesak, seorang wartawan boleh saja menghubunginya sebagai Kabid Pelayanan untuk ijin pertelepon, dan ijin berbentuk surat dapat menyusul.
“Dan nanti setelah ke saya di bidang pelayanan, nanti apa masalahnya, jika oke saya tinggal panggil instalasinya, atau penanggungjawabnya, saya akan koordinasi, ada wartawan yang akan meliput, silahkan difasilitasi,” pungkasnya.
Bukan merupakan rahasia umum, jika dikatakan Rumah Sakit Umum Daerah Soedarso merupakan salah satu lembaga publik yang memiliki regulasi tersendiri dalam mengambil kebijakan menyampaikan informasi kepada media atau pers. Namun regulasi yang dibalut dengan birokrasi tersebut cenderung mengikat dan bertele-tele.
Seperti contohnya, jika seorang wartawan yang ingin mewawancarai salah seorang pejabat Soedarso, mesti meminta izin terlebih dahulu sebelum bertemu. Jalur biasa yang ditempuh yakni pertama memintakan kepada humas untuk membuat surat ijin (nama, asal media, nomor redaksi, kepentingannya, dsb), tentu dengan menunjukkan surat bukti pers yang bersangkutan, seperti tanda penmgenal dan sebagainya. Setelah selesai, dari humas kemudian ditembuskan kepada an Direktur RSUD atau Wakil Derektur (Wadir), dalam hal itu Kabid Pengendalian. Kemudian surat di cap.
Setelah di sempurna, barulah seorang wartawan bisa menjalankan tugas jurnalismenya dengan tenang. Meski begitu, surat ijin hanya berlaku bagi satu orang nara sumber saja dengan waktu selambat-lambatnya 1 X 24 jam. Artinya dua narsum, dua surat ‘kuasanya’. Dan pembuatan surat itu, tidak jarang membutukan waktu kurang dari 5 menit sampai 20 menit.
Sejumlah kalangan meniai bahwa, Soedarso dengan caranya itu, telah melanggar UU transparansi, karena dianggap telah menghalang-halangi tugas jurnaslime pers yang sah dimata hukum. Bahkan beberapa kalangan menuding, bahwa Soedarso sengaja menutup-nutupi informasi ke media.
Namun ketika hal tersebut dikonfirmasikan, Kepala Bidang Kabid Pelayanan RSUD Soedarso, Drg. Hj. Tita Selati Sundari membantahnya, dia mengatakan, bahwa tidak benar jika Soedarso dengan surat pengantar atau ijin itu sengaja memperlambat proses penyampaian informasi kepada media, yang ada, kata dia Soedarso hanya menjalankan protap yang ada, sesuai dengan surat edaran yang dikeluarkan oleh Dirut RSUD, Gede Sanjaya.
“Ooh tidak, tidak ada itu, pertama, kita berdasarkan surat edaran dari Dirut rumah sakit,” bantah Tita tegas, ketika ditemui di ruang kerjanya, Kamis (29/9) kemarin.
Menurut Tita, selama ini rumah sakitnya tidak pernah sekalipun menutup diri dengan informasi apalagi kepada wartawan. Dan menurut Tita, bahkan untuk kasus-kasus tertentu, beberapa media sering difaslitasi langsung oleh petugas supervisi dalam melakukan peliputan.
“Untuk kasus-kasus tertentu, dimana khusus pada hari Sabtu dan Minggu, dalam kategori darurat, bisa langsung koordinasi ke saya, memang tidak ada surat, saya akan meminta ke supervisi untuk memfasilitasi wartawan untuk meliput,” katanya.
Menurut keterangan Tita, surat edaran tersebut baru dikeluarkan pada 23 Maret 2010 ini. Rumkit terpakasa mengeluarkan surat edaran bernomor; 485/1458/RSDS/PDL-B/2010 tersebut karena beberapa waktu silam rumkit sering merasa dirugikan dengan pemberitaan yang miring oleh beberapa media. Tanpa mengetahui informasi dari siapa diperoleh dan media mana.
“Kalau tidak ada seperti ini, Pertama, mereka tidak terdata, dan kedua siapa yang mau bertanggungjawab, kadang-kadang orang itu suka lari dari tanggungjawab, informasi dari siapa, dia itu sebagai apa (jabatannya di rumkit,red)? Gitu lho. Kalau anda mau bertanya masalah pelayanan, maka ke sayalah orangnya, jelas! harus ada hitam diatas putih, agar tidak dianggap liar,” tegas Tita.
“Dan mereka (dokter atau petugas bersangkutan) diruangan takut, kalau mereka main terima-terima aja, akan disalahkan dengan pimpinan, karena sudah ada edarannya, protapnya sudah jelas, peliputan ya seperti inilah, jadi sekali lagi dasarnya ini,” kata Tita sambil menunjuk sudat edaran.
Dijelaskannya lagi, setiap wartan bebas melakukan peliputan selama mengantongi surat yang dikeluarkan oleh Humas. Atau katanya, jika dalam kondisi yang mendesak, seorang wartawan boleh saja menghubunginya sebagai Kabid Pelayanan untuk ijin pertelepon, dan ijin berbentuk surat dapat menyusul.
“Dan nanti setelah ke saya di bidang pelayanan, nanti apa masalahnya, jika oke saya tinggal panggil instalasinya, atau penanggungjawabnya, saya akan koordinasi, ada wartawan yang akan meliput, silahkan difasilitasi,” pungkasnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar